****
Nadia kacau dengan presentasinya. Ia sudah seperti permen kapas yang melempem terkena air. Tidak berdaya dengan duduk sambil menunduk di dekat dua rekannya yang lain. Tidak satupun dari pembahasan di rapat itu yang berhasil nempel di kepalanya. Semuanya masuk tanpa permisi dan keluar begitu saja.
Dirinya sampai harus melihat catatan Corry. Lalu berusaha fokus kembali pada suasana hangat dalam rapat singkat itu. Nyatanya ia terlalu takut wajahnya dapat dikenali. Kalau boleh, ia ingin izin pulang saja, kepalanya berdenyut-denyut seiring dengan bosnya yang bicara mengenai pengembangan pangsa pasarnya. Jantungnya juga tidak siap mendengkur terlalu lama dalam ruangan itu.
Tapi untungnya, sedikit yang dia tahu bahwa Raka tidak sama sekali terlihat mengenalinya. Pria dengan kemeja biru dan celana bahan hitam itu hanya fokus pada layar infokus yang sedang dimainkan Pak Surya. Nadia juga mendengar kalau Raka menyetujui kerjasama dengan pihak perusahaan untuk membantu iklan produknya di tv. Dia terlalu banyak mempermasalahkan masalah sampai lupa dengan masalah sebenarnya. Terlalu menyibukan diri dengan kejahatan di masalalu dan takut dengan kebaikan yang mungkin timbul di masa depan. Itu pikirannya selama ini.
Ruangan mendadak riuh diiringi tepuk tangan seadanya saat Raka dan manajernya menandatangani sesuatu dalam beberapa map. Nadia hanya meliriknya saja tanpa bicara. Tidak berniat tahu lebihbanyak tentang isi surat yang terlihat seperti pengikat kerjasama itu.
"Bakal cuci mata setiap hari nih." Corry berbisik di dekat telinga Nadia. Sambil menutupi mulutnya malu dan berusaha gerak-gerik kekagumannya tak terbaca siapapun.
"Dia kan cuma brand ambassador. Nggak akan ke kantor tiap hari, kan?" Nadia ikut berbisik. Seperti sedang merahasiakan sesuatu.
"Se-nggaknya sebulan full ini dia bakal terus bolak-balik ke sini."
Nadia mendesah pelan. Kembali menegakan tubuhnya yang semula condong ke depan demi mendengarkan bisikan Corry ke telinganya. Ia menatap lagi ke arah kerumunan bos dan client barunya. Mereka yang tersenyum sumringah dan bahagia, berharap penjualan produk akan meningkat tajam. Apa hanya dirinya yang benar-benar tidak mau Raka berlama-lama disana?
Nadia kemudian melirik Adi yang duduk di sebelah rekannya yang lain. Pria itu ikut tersenyum memerhatikan dengan baik setiap ucapan bosnya dan bahkan menulisnya dengan detail di buku notulensi. Nadia sih lebih memilih melihat ke arah Adi daripada melihat ke arah infokus. Terlalu bosan dan tak mengerti sampai ia hanya menangkap garis besar rapat itu.
"Aku pamit ke toilet, ya." Nadia berdiri sesaat setelah rapat ditutup dan diakhiri dengan tepuk tangan dan senyum bahagia. Ia meminta izin pada rekannya untuk pergi duluan seperti yang dilakukan bosnya dengan client dan manajernya itu. Setelah itu merangkum semua berkasnya dalam pelukan sebelum akhirnya melenggang cepat meninggalkan ruangan.
****
Adi duduk gelisah. Tidak seperti biasanya perhatiannya ditarik masuk ke dalam hal lain selain rapat. Padahal sudah jauh-jauh hari ia menunggu moment ini. Tapi malah menyia-nyiakannya dengan tidak berkonsentrasi dalam rapat. Ia sempat kehilangan poin penting bosnya karena harus lagi-lagi mencuri pandang pada salah satu staff nya yang duduk sedikit memojok tidak seperti biasanya.
Sejak ditawari ikut rapat ini, ia yakin ada yang tidak beres dengan Nadia. Gadis itu terlihat pucat dan cenderung sembunyi dalam rapat. Gadis yang biasanya aktif dan mendukungnya dalam setiap kesempatan, hari ini malah menjadi yang paling diam dan tak fokus. Adi bahkan tau betul Nadia sempat terlihat bingung dan tak menangkap maksud dari hasil rapatnya karena berada dalam alamnya sendiri.

KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Dia
Romance[TAHAP REVISI] Nadia kira sudah bahagia dengan pernikahannya. Belum genap setahun, suaminya divonis penyakit langka dan kehilangan banyak jati diri. Satu fakta yang Nadia tahu, suaminya menceraikannya. Melepasnya kepada pria lain. Mengatasnamakan ke...