46. Ikhlas?

2.4K 107 12
                                    

***

Nadia berdiri berdampingan dengan Raka yang sibuk bicara pada seorang wanita paruh baya. Nadia sengaja membiarkan pria itu memegang kendali karena percaya semuanya akan selesai dengan kemampuan 'merayu' yang dimiliki Raka sebagai pengacara. Ia sesekali tersenyum menoleh ke arah pria itu yang berhasil menggoda si wanita paruh baya sampai tergelak malu. Raka memang jago melakukan hal itu. Dasar pria penuh rayuan.

"Setelah urusan administrasinya selesai, saya dan Nadia akan kembali jemput Alesha, Bu." Raka menegaskan sebelum mengakhiri percakapan mereka.

Wanita berusia kira-kira setengah abad itu mengangguk sambil tersenyum. Mengulum senyum seperti siap melahap Raka setelahnya.

"Alhamdulillah, baik Pak, Bu. Saya nantikan kabar selanjutnya. Biar saya punya waktu memberi tau Alesha," katanya senang.

Raka mulai pamit diiringi Nadia yang juga mengikutinya di belakang setelah bersalaman.

"Kamu hanya tunggu 1-2 bulan. Aku akan mengurus hak asuh atas Alesha." Raka berjalan mendahului Nadia yang mengintil di belakangnya.

"Nggak bisa kalau sebulan, Rak?"

Raka menghela napas sambil menatap Nadia. Pria itu pura-pura menghitung dengan jari, kemudian menggeleng kepalanya ke kanan dan kiri.

"Kalo mau tertib, ya kudu sabar, Nadia. Aku juga harus teliti, kamu dan suamimu bisa membiayai Alesha sampai dewasa atau nggak?" Raka menatap gemas seperti ingin melahap Nadia. Sedangkan Nadia hanya tergelak dan mengangguk kecil.

Sampai di parkiran, Nadia mengeluarkan ponsel. Membuka satu aplikasi ojek online dan siap mengetik alamat pulang.

"Lho, nggak bareng aja?" Raka berdiri di depan pintu mobilnya. Bersiap membuka pintu tetapi urung.

"Nggak usah, Rak. Aku bisa-"

"Aku bisa dibantai suamimu kalau kamu pulang sendiri." Raka membuka pintu mobil untuk Nadia.

"Nggak enak, Rak. Kamu juga ada kerjaan lain, kan?" Nadia menolak halus.

"Naik atau aku lamain urusan administrasi hak asuh Alesha?" Raka mengancam dengan menaik turunkan kedua alisnya.

Nadia meringis geli. Kemudian mengangguk masuk ke dalam mobil Raka yang sudah terbuka.

"Dasar tukang ancam," sindirnya.

Raka hanya terkekeh-kekeh. Lalu berjalan memutar ke arah pintu kemudi. Pria itu duduk di kursi kemudi. Setelah memasang sabuk pengaman, ia menoleh Nadia. Memastikan wanita itu juga memasangnya dengan benar.

"Kamu pintar pilih anak. Alesha anak yang baik dan lucu." Raka sesekali menoleh ke arah Nadia disela-sela aktivitas menyetir.

Nadia mengusap pipi malu. Tergelak pelan. "Mas Adi yang memilihnya," sahut Nadia.

"Oh iya?" tanya Raka serius.

"Sejak Mas Adi pasang ventilator, suasana rumah jadi sepi. Kalo ada anak-anak kan jadi ramai. Begitu melihat Alesha minggu lalu, Mas Adi langsung suka. Jadi kupikir, Mas Adi akan senang kalau Alesha kami rawat bersama." Nadia mengusap pipi. Memalingkan pandangannya ke luar jendela. Mengingat kondisi terbaru suaminya.

Raka agak canggung kembali bicara. Namun pria itu buru-buru berdeham memecah suasana.

"Nggak ada niat punya anak sendiri, Nad? Kudengar medis bisa membantu melakukannya sekarang."

Nadia menoleh kembali ke arah Raka. Memandangnya beberapa saat sebelum akhirnya tersenyum kecil.

"Untuk saat ini, aku hanya ingin fokus merawat Mas Adi," jawabnya serak.

Untuk DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang