****
Khalid duduk di kursi kayu yang berdampingan dengan meja rias. Matanya menjelajah ke setiap sudut dan mengerut beberapa kali. Suasana hening dan sendu di ruangan yang saat ini ia tempati. Pria berjanggut tipis itu menghela napas panjang. Sejak kepulangannya dari tempat kerja, suasana sudah hening. Ia hanya mendapat isyarat singkat dari istrinya untuk menemui Adi secara langsung dan mengajaknya bicara.
Khalid memainkan alis untuk memancing jawaban Adi. Sedang Adi hanya berbaring lemah dalam selimut.
"Mas ngerti ini masalahmu karo Nadia. Nanging masalae dadi serius," ucap Khalid.
Adi menoleh sekejap, kemudian menunduk berpikir. "Mas mau nyalahi saya juga?"
"Mas mboten nyalahi. Setidaknya jelaskan apa yang terjadi? Kalau masih bisa dibicarakan, ya bicarakan saja dulu." Khalid mulai menaikan sedikit intonasi.
"Biar saya selesaikan sama istri. Mas nggak usah ikut campur!" Adi menoleh tak suka.
"Kamu mau menceraikan istrimu tanpa alasan, Di? Kalau memang dia nggak baik menurut kamu, beri pengertian yang baik."
"Mas mboten ngertos," jawabnya lemah.
"Gimana Mas mau ngerti kalo kamu nggak jelaskan alasanmu?"
Adi mengusap wajahnya pelan dengan tangan yang lemah. Ia menatap wajah Khalid penuh penyesalan sekaligus marah.
"Saya marah, Mas." Adi mengaku.
"Marah?" tanya Khalid tak mengerti. Alisnya naik turun sejenak mengisyaratkan otaknya masih butuh banyak informasi.
"Saya marah pada diri saya," tukasnya. Adi menahan napas. Dadanya mulai kembali sesak dan perih. "Saya lemah. Jangankan menjaga Nadia, menjaga tubuh saya sendiri pun tak mampu."
Khalid tersentak. Ia diam menjaga deru napasnya agar teratur. Menghindari suasana panas yang bisa saja membuat Adi menangis. Melihat bahwa mata pria itu sudah memerah saat bicara.
"Mas rasa, Nadia tidak menuntut apa yang sempurna darimu. Karena dia sadar, dialah yang harus menyempurnakanmu."
"Justru itu ... Nadia sekarang terlalu sempurna untuk pria seperti saya ini," lirih Adi membuang muka.
"Manusia mana ada yang sempurna, Di? Nadia tidak keberatan dengan kondisimu saat ini. Dia menerimamu dengan ikhlas. Keikhlasan seorang istri. Kamu tidak lihat, bagaimana butuhnya kamu pada Nadia? Dia panik melihatmu jatuh dari ranjang. Dia selalu tertawa setiap kali kamu lahap masakannya. Dia--"
"Karena itu saya ingin Nadia bahagia tanpa harus khawatir soal saya, Mas. Saya ingin bidadari secantik dan sebaik Nadia, juga bahagia bersama pria yang bisa menemaninya setiap saat, tanpa was-was dibayangi kematian." Adi menyahut tanpa mendengar Khalid menyelesaikan ucapannya.
"Astagfirullah, Di. Maut itu hanya Allah yang tau. Kita tidak berhak memvonis. Belum tentu umur Mas yang terlihat sehat ini jauh lebih panjang darimu yang sedang terlihat sakit." Khalid berdiri menjulang. Menatap tak percaya ke arah iparnya.
Adi masih membuang wajah ke arah lain. "Saya tidak mau zalim menahan Nadia lama-lama, Mas."
Khalid menggeleng lagi. Ia melipat kedua tangannya memeluk dada. Pria itu mencoba menunggu jawaban berikutnya. Namun Adi menolak bicara dan beralasan ingin tidur.
"Okey, Mas nggak akan ikut campur. Tapi pikirkan lagi. Kamu tau Allah sangat membenci perceraian." Khalid beranjak dari tempatnya berdiri. Melenggang mengitari ranjang kamar sebelum akhirnya bebas keluar.
****
Nadia duduk tak tenang di ruang tengah. Meski Sarah terus mengusap bahunya menenangkan diri, Nadia hanya mampu tersenyum kaku. Matanya membesar 2 kali lipat akibat menangis. Selama dua jam ia menjadi bahan olok-olok Aisyah yang asik menertawakan mata Nadia. Wanita itu mengusap dada. Aisyah hanya tidak paham apa yang sedang ia lakukan sebenarnya bukan sesuatu yang pantas.
![](https://img.wattpad.com/cover/154263207-288-k119649.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Dia
Romance[TAHAP REVISI] Nadia kira sudah bahagia dengan pernikahannya. Belum genap setahun, suaminya divonis penyakit langka dan kehilangan banyak jati diri. Satu fakta yang Nadia tahu, suaminya menceraikannya. Melepasnya kepada pria lain. Mengatasnamakan ke...