****
Nadia memalingkan wajahnya dari hadapan Adi yang nampak mengernyitkan dahi. Ia ingin bertanya tapi otaknya mulai dangkal dengan teori-teori rasa yang tiba-tiba mengacau. Perasaan bersalah selalu menghantui dirinya disaat yang bersamaan. Bersalah pada Adi tapi juga pada Raka. Ia hanya tak bisa berpikir jernih sepanjang hari. Sesuatu yang terjadi pada Raka mungkin saja adalah salah Nadia.
Bagaimana dengan mudah hatinya luluh. Membiarkan otaknya dikuasai kekhawatiran yang berlebihan pada mantan kekasihnya itu. Terlebih saat ia bersama Adi -yang adalah calon suaminya- ia malah sedang mencemaskan pria lain. Tapi siapapun Nadia rasa akan melakukan yang sama. Nyatanya otak manusia tak bisa dipaksa melupakan kenangan bersama seseorang di masalalu.
"Maaf." Nadia bergumam pelan.
"Untuk apa?" Adi mulai cemas apa yang dimaksud wanitanya ini. Ia merubah posisi duduk menjadi lebih condong agar Nadia bersedia kembali bicara padanya.
"Sampai repot-repot panggil mas pagi banget begini. Saya nggak tau harus hubungi siapa lagi." Nadia mengakui tak harusnya ia memaksa Adi datang dan memapah Raka sampai rumah sakit.
"Bagus dong. Berarti cuma saya yang ada di pikiranmu." Adi tersenyum kaku namun mencoba mencairkan suasana. Nadia menoleh kecil lalu tersenyum miring. Melihat wajah Adi yang masih tenang dengan senyuman yang tulus.
Nadia berdecih. Hampir menyesal mengakui kebenarannya bahwa memang hanya Adi yang saat itu terlintas di otaknya yang kecil itu.
"Tapi kamu kok bisa sama dia?" Adi bertanya curiga. Mengernyit dahi sekali lagi sambil menatap Nadia. Ia seperti berusaha memasang wajah tak suka tapi percayalah Nadia malah ingin tertawa.
"Eh. Tadi pagi, tiba-tiba dapat telepon di suruh ke tempat itu sama staf cafenya."
Nadia beralasan. Ia masih ingat betul bahwa dirinya memang tiba-tiba diminta datang tanpa menghiraukan urusan pribadi. Dan bodohnya, Nadia langsung berlari sasah seperti di kejar hantu saat itu juga. Begitu tiba di tempat, ia sudah melihat Raka mabuk berat.
"Istimewa sekali sampe kamu datang pagi sekali." Adi tampak bergumam pada dirinya.
Nadia menoleh dan menatapnya tak percaya. Memasang wajah tanya dengan mendekatkan wajahnya sambil menatap wajah Adi dan menahan tawa. Apa pria itu sedang mengatakan bahwa ia cemburu sekarang?
"Kenapa? Mas cemburu ya?" Nadia menggodanya sambil tersenyum picik.
"Nggak." tegasnya. Adi menggeleng lalu memalingkan wajahnya. Tapi Nadia malah mengikuti pandangannya ke arah Adi memalingkan wajah dan terus membujuk.
"Bohong!" Nadia menyimpulkan sambil tersenyum miring. Ia sesekali melirik Adi dengan ekor matanya. Masih menunggu reaksi pria itu selanjutnya.
"Nadia!"
Nadia menoleh spontan ke sebelah kiri. Telinganya menangkap suara panggilan yang tersasar padanya. Ia berdiri, menanggalkan senyum dan berubah menegang saat melihat seorang wanita paruhbaya datang mendekat.
Nadia memincing kedua belah matanya. Memperjelas pandangan yang tertuju pada wanita paruhbaya yang datang dalam keadaan panik.
"Tante?!" Nadia berdiri menyambut kedatangannya. Dirinya ingat, wanita setengah tua ini masih tampak sehat dan muda seperti dulu. Dia bu Asri-ibunya Raka. Wanita yang sudah lama sekali tidak ia temui.
"Raka dimana?" katanya panik.
****
Adi menunggu selama lima belas menit di depan ruangan inap yang baru saja ditempati Raka beberapa saat lalu. Ia duduk cemas sambil tak melepas pandangannya dari arah pintu. Berharap segera seseorang muncul keluar dari ruangn itu. Setelahnya, ia akan menarik dia keluar dan menjauh dsei rumah sakit dengan segera.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Dia
Romance[TAHAP REVISI] Nadia kira sudah bahagia dengan pernikahannya. Belum genap setahun, suaminya divonis penyakit langka dan kehilangan banyak jati diri. Satu fakta yang Nadia tahu, suaminya menceraikannya. Melepasnya kepada pria lain. Mengatasnamakan ke...