24. Pilihan Hati

1.3K 96 8
                                        

****
Nadia berpikir bahwa apa yang dilakukan Raka tidak punya maksud lebih selain memperbaiki suasana. Walaupun kesannya seperti keterlaluan, mengikat Nadia dengan cincin padahal Raka tahu bahwa ia sudah punya calon suami. Nadia tidak mau menyalahkan Raka, itu hanya reaksi impulsifnya karena tak mau kehilangan wanita. Tapi ia juga tak bisa memaksakan diri, perasaannya pada Raka sudah berubah. Enam tahun bukan waktu yang sebentar untuk sekedar belajar melupakan.

"Aku anggap ini sebagai tanda persahabatan kita yang baru." Nadia mengusap cincinnya pelan. Mencoba tersenyum kaku mencairkan suasana. Ia melihat Raka menyunggingkan senyum yang haru, tapi cukup banyak ekpresi yang berubah dari wajahnya. Nadia minta maaf kalau Raka merasa tersakiti.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Nadia menoleh spontan, otaknya mengenali suara besar yang mengucap salam itu. Jantungnya berdebar walau belum sempat ia menoleh dan memastikan suara itu.

"Mas Adi?"

Ia tahu Raka menoleh bersamaan dengannya. Ia ingin menyambut dengan gembira tapi tak cukup berani karena ada raka yang membatasi ruang geraknya.

"Sedang ngobrol penting ya?" katanya berjalan mendekat.

Nadia menoleh sesekali ke arah Raka yang juga berdiri canggung di belakangnya. Ia jadi canggung, apa Adi mendengar semua pembicaraannya dengan Raka tadi?

"Nggak kok."

Adi nampak tersenyum mengangguk melirik ke arah Raka bergantian. Ia kemudian mendekat juga dan menghampiri pria itu.

"Hallo, sudah sehat Rak?" Adi menepuk bahu Raka pelan. Itu sih yang dirasakan Adi, tapi Raka sampai mengaduh dan mengusap lengannya.

"Alhamdulillah." Raka masih mengusap bahunya dan meringis.

"Saya nggak ganggu kalian, kan?"

"Nggak, mas." Nadia menimpali segera. Suasana mulai berubah makin canggung setelah Adi muncul, Nadia tidak berani bicara, pun Raka yang hanya diam seperti sedang menunggu sesuatu.

"Mending ngobrol di dalam, yuk! Di luar mah dingin."

Nadia mempersilakan keduanya masuk ke dalam rumah, sekedar duduk dan minum teh bersama di ruang tamu.

"Nad, kebetulan ada calon suamimu, boleh kupinjam sebentar?" Raka bicara pada Nadia tapi tak menoleh sedikitpun. Matanya malah terus menangkap Adi seperti ingin mengikat dan melumatnya hidup-hidup

"Hah?" Nadia tidak bereaksi.

"Obrolan sesama lelaki." Raka menegaskan.

"Ya udah sok ngobrol aja." Nadia mempersilakan lagi mereka bicara.

Adi menoleh Nadia dan memberi isyarat untuk membiarkan mereka bicara berdua. Meski beberapa kali Nadia sempat menolak dan tidak berkenan meninggalkan mereka, akhirnya Nadia mengangguk pelan. Mulai berjalan duluan masuk ke dalam rumah. Memberi ruang keduanya untuk bicara berdua saja.

"Jadi.."

"Kamu dengar semuanya, kan?" Raka memotong Adi yang sudah bersiap bicara. Menatapnya tajam tapi pasrah.

"Dengar apa?" Adi memancingnya.

"Semuanya."

"Aku anggap aku nggak dengar apapun hari ini." Adi membetulkan lengan bajunya yang turun. Menatap ke arah Raka yang juga tengah menatapnya tajam.

"Aku mencintai Nadia sejak awal." ucap Raka. Pria itu seperti sedang memprovokasi.

"Aku tau." jawab Adi dengan santai.

Untuk DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang