****
Raka merenggangkan rengkuhannya spontan. Menatap wajah Marissa yang tak berani menegak sedikitpun. Tanpa ia sadari, cengkraman tangannya di bahu gadis itu menguat sampai Marissa meringis dan mengaduh pelan. Belum habis keterkejutannya, ia malah melihat Marissa berusaha menyembunyikan wajah."Siapa yang melakukannya?"
Raka mencoba tenang. Meminta Marissa bicara baik-baik dan menjelaskan semuanya dari awal. Tapi gadis itu tidak punya keberanian lebih selain menunduk dan menahan tangis.
"Katakan padaku siapa pria itu?!" Raka menegang. Raka sedikit berteriak agar Marissa mau bicara.
"Kembalilah dulu malam ini. Aku susul besok pagi. Lalu kita bicarakan di manajemen." Raka merogoh sakunya. Mencari nomor manajer Marissa di ponselnya. Sekarang ia harus mengembalikan dulu gadis itu.
"Jangan, Rak! Kumohon! Kamu tau ayahku, kan? Dia pasti membunuhku kalau tau semuanya." Marissa merebut ponsel Raka sebelum pria itu berhasil menemukan nomor yang ia tuju.
"Terus kenapa kamu lakukan itu kalau tau akibatnya?"
Marissa menunduk lagi. Ia hanya bisa terisak di hadapannya tanpa berani bicara. Raka hanya berjalan mundur dua langkah. Memepet tubuhnya ke tembok lalu memukul tembok untuk melampiaskan amarah. Ia menatap Marissa kecewa namun juga tak bisa menyalahkan Marissa atas dosanya.
"Tidur saja dulu di kamarku! Besok pagi kita kembali bersama." Raka merendahkan nada suaranya. Ia mengusap bahu Marissa yang masih tersedu. Kemudian meminta gadis itu naik ke lantai dua tepat di kamarnya. Sedangkan dirinya, masih berdiri di depan tangga. Memastikan Marissa masuk ke kamarnya dalam keadaan baik-baik saja.
Setelah tubuh Marissa lenyap di matanya, Raka memukul kembali tembok dengan telapak tangannya. Kemarahan tiba-tiba memuncak sampai ubun-ubun tapi Raka tak bisa melakukan apapun. Hari ini, kepalanya serasa mau pecah. Banyak masalah yang datang padanya. Mulai dari urusan hati, sampai urusan Marissa yang membuat kepalanya makin pening.
Pada akhirnya, Raka meraih kunci mobil di atas misbar dekat ruang tengah. Berlalu begitu saja meninggalkan ruang tengah menuju mobilnya di garasi. Ia tahu ini nyaris larut, tapi Raka butuh menenangkan diri sejenak.
****
Nadia selesai sholat shubuh bersama adik dan ibunya. Ia melipat mukena dan menggelung rambutnya yang panjang sepinggang. Setelah menyimpan mukena, Nadia berjalan mengikuti ibunya yang berdiri di dapur menyiapkan sarapan pagi. Menggoreng tempe dan tahu lengkap dengan nasi yang masih mengepul di dalam rice cooker.Nadia menawarkan diri untuk mengambil alih ibunya dalam memasak dan itu disetujui ibunya.
"Jadi kapan keluarga Nak Adi datang untuk lamaran resminya?" Bu Diana mengaduk nasi dalam rice cooker. Menoleh ke arah Nadia yang sedikit terkejut.
"InshaAllah setelah Nadia sama mas Adi kembali dari Semarang bu. Kata mas Adi sih gitu." Nadia masih fokus pada tempe dam tahunya.
"Nggak kerasa anak ibu sudah mau ada yang lamar." Bu Diana seperti berandai-andai. "Kalian itu satu kantor, berarti kalau nikah, nggak boleh satu kantor lagi dong?"
Nadia menoleh setelah mematikan kompor. Meraih piring disisi kiri sambil tersenyum ke arah ibunya yang nampak khawatir.
"Peraturan kantor sih gitu, bu. Tapi mas Adi bilang, ada kemungkinan Nadia atau mas Adi yang di mutasi ke cabang lain." Nadia menjawabnya santai. Semuanya sudah Adi rencanakan dengan baik. Ia juga tak tahu bagaimana Adi menyiapkan kemungkinan-kemungkinan itu tanpa sepengetahuannya. Setiap malam, Adi hanya seperti membuat laporan padanya jika Nadia bertanya tentang kelanjutan hubungan mereka. Nadia jadi merasa lega.
"Emangnya nggak apa-apa?"
"Ya nggak apa-apa, bu." Nadia meletakkan piring berisi tempe dan tahu goreng di atas meja makan. Bu Diana hanya terlihat mengangguk pelan sambil mengelap meja makan. Bergantian menyiapkan piring.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Dia
Romance[TAHAP REVISI] Nadia kira sudah bahagia dengan pernikahannya. Belum genap setahun, suaminya divonis penyakit langka dan kehilangan banyak jati diri. Satu fakta yang Nadia tahu, suaminya menceraikannya. Melepasnya kepada pria lain. Mengatasnamakan ke...