34. Kekhawatiran

1.5K 103 14
                                    

****

Menjelang maghrib tiba, cuaca diluar mendadak hujan. Beberapa kali, Nadia harus meringis mendengar gemuruh petir selama dalam perjalanan kembali ke ruangan Adi di rawat. Beberapa jendela yang menghadap timur basah diketuk air cukup deras. Ingin rasanya Nadia berhenti sejenak. Keluar dari rumah sakit dan berlari untuk melepas penat. Namun obat kegelisahannya tidak berada pada bintik hujan, melainkan pangkuan Adi dan sedikit penjelasan darinya.

Tangan Nadia masih mengepal erat. Menggenggam surat yang diberikan dokter jaga. Walaupun sudah mencoba tenang, tapi isi kepalanya menolak diam dan duduk manis. Apa yang dialami Adi cukup serius.

"Nduk?" Sentuhan lembut di bahu menyadarkan lamunan Nadia yang berlangsung sejenak itu.

Nadia menoleh ke arah sentuhan itu berasal. Tepat di sebelah kiri.

"Ibu,"

"Kenapa ndak masuk?" Sarah, wanita itu muncul tiba-tiba.

"Nggak apa-apa, Bu. Liat hujan sebentar." Nadia tersenyum kaku. "Eh, ibu udah urus administrasi Mas Adi?"

Sarah mengangguk.

"Tapi pas ibu kesana, semuanya sudah di urus. Bahkan biaya inap sudah dibayar full." katanya heran.

Nadia mengernyit dahi. Mencoba berpikir apa yang sedang terjadi sebenarnya.

"Kayaknya temannya Adi yang bawa dia kesini yang bayar deh. Kita harus berterimakasih sekali sama dia, Nduk."

"Ibu ketemu sama orangnya?" Nadia memandang sejenak ke belakang Sarah. Seperti memerhatikan sesuatu.

"Ndak. Pas ibu kesana dia sudah pulang."

Nadia manggut-manggut. Sepertinya memang Raka yang membayar semua biaya yamg ada. Maka dari itu, Nadia harus berterimakasih nanti.

"Yuk masuk!"

Nadia mengangguk. Mengikuti Sarah yang melenggang lebih dulu menuju ruangan Adi menginap. Soal rencana pemeriksaan itu, sebaiknya ia simpan dulu dari Sarah.

****
Raka tersenyum kecil di balik tiang besar yang berdiri kokoh menopang bangunan. Saat tak sengaja, matanya menangkap wanita yang sejujurnya ia rindu sedang melenggang melewati lobby lantai 3. Setelah cukup lama tidak berjumpa, ada kerinduan yang muncul. Tapi sayang, Raka tak berani kembali ke permukaan dan menampakkan diri. Terlalu berat untuk kesehatan jantung dan hati.

Raka diam-diam mengulum rindu. Mungkin dia sudah gila karena masih mengharap gadis itu kembali. Wajar saja, selama pergi Raka benar-benar menjaga hatinya untuk tak tergoda gadis lain selain Nadia. Ia menabung semua hasil kerja kerasnya ddmi bisa menikahi Nadia saat kembali nanti. Nyatanya, saat kembali Nadia sudah melupakan dirinya. Raka hanya butuh waktu.

Raka mengusap pipi sebelah kanan. Melirik lagi wanita itu dari kejauhan. Senyum yang semula menghiasi bibir perlahan pudar. Nadia tampak sedih dan khawatir. Itu jelas tergampar dari wajah Nadia yang memucat. Apa keadaan Adi tidak baik sampai Nadia sekhawatir itu?

Raka berbalik badan. Ingin menemui Nadia yang masih berdiri diantara lorong menuju ruangan inap Adi. Tapi detik selanjutnya niat itu urung. Seorang wanita paruh baya datang mendekat.

Raka tidak mendengar apa yang dibicarakan. Tapi mungkin lain kali ia harus datang dan menjenguk. Sekarang, lebih baik Raka pulang dulu. Memberi waktu untuk Nadia dan keluarganya sedikit tenang.

****
Adi sedang berbaring mencoba memberi kenyamanan pada kakinya. Sejak masuk ke rumah sakit ini dirinya merasakan ketidaknyamanan pada tangan dan kaki. Seperti ada yang mengganjal. Apa itu efek dari lengannya yang jatuh menahan tubuh saat jatuh dari motor tadi? Adi meringis menyentuh bagian siku. Mungkin setelah diberi suntikan rasa sakitnya bisa menghilang perlahan.

Untuk DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang