****
Perasaan kacau dan gelisah terus meliputi otak dan napasnya. Baru dua menit lalu, ia bisa bernapas lega, menit selanjutnya muncul kembali kegelisahan yang mengusik ketenangan. Adi mengesak rambutnya berhadapan dengan cermin. Memandang wajah dan rambut basah yang mengganggu kepalanya. Acara mandi siang yang ia rencanakan dengan tenang akhirnya berakhir dengan ketidaknyamanan. Hatinya diliputi perasaan sakit. Lebih tepat sakit di ulu hati yang merambat sampai pergelangan tangan.
Walau ia mencoba tetap tenang, dirinya tetap manusia biasa yang takut ditinggalkan. Apa yang dia alami bersama Nadia beberapa akhir ini seperti mencoba mengubah keputusannya. Adi seperti orang gila yang terbakar cemburu karena hubungan dekat Nadia dengan pria lain, terutama itu dengan Raka.
Adi memang tidak mengenal pria itu dengan baik. Tapi sorot matanya menggambar bahwa Raka memandang Nadia lebih dari tatapan biasa. Itu tatapan lapar lengkap dengan rasa ingin memiliki. Persis seperti perasaan dirinya pada Nadia.
Adi menggosok wajahnya dengan handuk. Mengeringkan sisa air di alis. Lalu memandang lagi wajahnya. Ia menunduk mencari laci di nakas dekat cermin. Kemudian membuka laci undakan kedua.
Pria itu tersenyum menemukan sebuah kotak beludru berukuran kecil. Jantungnya sempat melompat dua centi dari asal dan membuat paru-parunya mengecil. Adi menahan nafas selama beberapa detik, sebelum membuka kotak beludru kecil itu. Cincin istimewa yang ia beli khusus untuk calon istrinya, Nadia Almeera Yusman.
Dibalik perasaan cemburunya yang menggebu hampir menutup mata, Adi harus segera meresmikan hubungan mereka. Meski diam-diam dirinya menyiapkan semua keperluan, pergi kanan kiri mencari WO yang tepat untuk menghandle pernikahannya nanti. Yang terpenting adalah...perasannya yang harus mengikat perasaan Nadia juga.
"Bismillah." gumamnya menggenggam erat kotak beludru merah merona itu. Kemudian melesakkannya ke dalam saku jaket yang sudah ia kenakan. Kalau timingnya tepat, ia harus berikan cincin itu pada Nadia.
****
Nadia membayar ojek online lalu berterimakasih setelah menerima uang kembalian. Ia memandang rumah dengan gerbang cukup tinggi dan halaman yang luas. Gadis itu melirik jam tangan di pergelangan kiri. Masih pukul setengah 11 siang. Masih ada waktu sebelum tengah hari. Kakinya gemetaran saat melangkah memasuki halaman rumah besar itu. Padahal sepanjang jalan, Nadia sudah menyiapkan banyak kosa kata yang akan ia katakan. Tapi semuanya mendadak buyar di langkah pertama Nadia menapaki teras rumah.
Otaknya yang kecil memberi respon berlebihan pada jantung. Nadia lagi-lagi menunda untuk mengetuk pintu atau menekan bel rumah. Ia tak berhenti berpikir ulang. Haruskah ia lakukan itu? Datang menemui Adi langsung di rumahnya. Dimana letak harga dirinya?
Nadia menghela nafas sampai akhirnya menekan bel rumah dua kali. Kurang dari dua menit, Nadia menyiapkan diri dengan kata-kata yang ia rangkai sebaik mungkin. Bisa saja nanti bukan Adi yang membuka pintunya.
Setelah menunggu, pintu rumah itu terbuka sedikit lebar. Menyembulkan seorang wanita paruh baya dengan kerudung seadanya dari balik pintu.
"Ehh, Nadia." sapa Bu Sarah. Wanita itu seperti terkejut tapi juga menyambutnya antusias.
"Assalamualaikum, bu." Nadia mengulur tangan hendak menyalaminya. Dengan senang hati, bu Sarah mengulur tangan dan memberi salam sekaligus pelukan hangat.
"Waalaikumussalam. Cari Adi ya?" Bu Sarah langsung menerka sambil tersenyum.
Nadia hanya mengangguk mengakui.
"Yuk masuk dulu! Ibu panggil dulu anaknya." Bu Sarah menarik lengan Nadia masuk ke dalam rumahnya yang besar. Melewati ruang tengah yang luas dan ditempeli foto-foto keluarga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Dia
Romance[TAHAP REVISI] Nadia kira sudah bahagia dengan pernikahannya. Belum genap setahun, suaminya divonis penyakit langka dan kehilangan banyak jati diri. Satu fakta yang Nadia tahu, suaminya menceraikannya. Melepasnya kepada pria lain. Mengatasnamakan ke...