****
Cuaca kota di siang hari yang mendung. Diliputi angin halus yang bergerak ke arah barat. Mereka menyebutnya angin muson Australia. Di bulan-bulan ini, angin itu berhembus lebih dingin dari biasanya. Membawa remahan debu yang menutupi tebal kacamata.
Nadia memandang langit berawan di atas kepalanya. Mungkin satu atau dua jam ke depan akan turun hujan. Ia bergegas menutup pintu mobil setelah menjinjing tas. Nadia memerintah Adi keluar sesegera mungkin. Sebelum hujan turun mereka harus segera kembali ke rumah.
Setelah menunggu tiga minggu lamanya, Nadia mendapat pesan undangan dari pihak rumah sakit. Mereka memintanya datang membawa Adi turut serta. Hasil laboratorium dan pemeriksaan lain sudah keluar.
Nadia merangkul lengan kanan suaminya. Memapahnya perlahan melewati anak tangga yang jumlahnya tak seberapa. Entah sejak kapan, Nadia tidak berhitung. Adi mulai lemah dalam berjalan. Ia tersenyum menggenggam erat tangan Adi. Memberinya semangat yang cukup. Bukan tidak mungkin, dengan gejala lain yang muncul Nadia yakin Adi tidak sedang baik-baik saja.
"Makasih, Yang." Adi menggenggam erat jemari Nadia sepanjang lorong. Ia tersenyum hangat seperti biasanya. Mengeluarkan aroma harum dari tubuh dan energinya yang positif. Nadia mengangguk. Meminta Adi duduk sebentar selama ia mengurus keperluan di bagian informasi.
Sedangkan Adi hanya menatap tubuh istrinya yang dibalut gamis gombrong. Dalam hati, zikir dan doa tak lepas sejak keberangkatannya dari rumah. Bukan bermaksud pesimis, tapi Adi sedikit khawatir dengan kondisi tubuhnya.
Ia tidak tahu, sejak kejadian jatuh dari motor tempo lalu kakinya seperti kehilangan tenaga. Ia pikir itu biasa karena terkilir. Tapi rasanya berbeda. Setelah tiga minggu, Adi bahkan tak merasakan ada perubahan yang baik dengan kemampuan berjalannya.
Ia berulang kali jatuh di kamar mandi. Bahkan hanya sekedar memegang sabun. Dua hari lalu, ia juga jatuh terguling dari tangga teras rumah sepulang kerja. Adi tidak mengerti apa yang terjadi dengan dirinya.
Beruntung, ada Nadia. Wanita tangguh dan shalehah yang menemaninya kemanapun. Menguatkannya dalam kondisi apapun. Bahkan hari ini. Hari pengumuman hasil pemeriksaan tulangnya. Wanita itu tidak pernah memberi wajah sedih. Hanya ceria dan manis di matanya. Itu yang membuat Adi berkali-kali jatuh cinta padanya.
"Mas, yuk!" Nadia mengulur tangan setelah kembali mengurus administrasi.
"Bisa langsung masuk?" Adi mendongak. Menatap wajah istrinya yang teduh.
"Dokter Anwar udah nunggu." jawabnya meraih lengan Adi. Berusaha memapah.
Nadia dan Adi dituntun seorang petugas menuju ruangan yang dimaksud. Sampai disana, seorang pria tua dengan pakaian serba rapih sudah duduk menunggu.
"Assalamualaikum." Adi memulai lebih dulu.
Dokter pria itu tersenyum berdiri menyambut kedatangannya.
"Wa'alaikumussalam. Eh, Adi dan Nadia. Ayo masuk!" katanya menunjuk dua kursi kosong untuk mereka. "Gimana? Sehat?" katanya berbasa-basi.
"Alhamdulillah, dok." Nadia dan Adi menyahut bersamaan. Sembari duduk mencari posisi ternyaman.
"Kalian datang lebih cepat." Dokter tua itu lagi-lagi tersenyum. Ia bergerak ke arah lemari arsip yang ada di sebelah kanan. Kemudian mencari sesuatu di dalam sana.
Nadi hanya terkekeh-kekeh menatap wajah suaminya yang tersipu malu. Biasanya memang sering terlambat karena datang cek up selepas Adi pulang kantor.
"Okey, kita lihat hasil pemeriksaannya, ya." Dokter Anwar mengeluarkan sebuah amplop cokelat yang masih terbungkus rapih. Ia mencocokan sesuatu antara amplop dengan buku catatan yang dia pegang. Memastikan tidak ada yang salah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Dia
Romance[TAHAP REVISI] Nadia kira sudah bahagia dengan pernikahannya. Belum genap setahun, suaminya divonis penyakit langka dan kehilangan banyak jati diri. Satu fakta yang Nadia tahu, suaminya menceraikannya. Melepasnya kepada pria lain. Mengatasnamakan ke...