****
Nadia berdiri di depan gerbang rumah setelah menutupnya rapat di tengah sisa gerimis hujan yang masih mengguyur. Ia menatap lirih mobil hitam yang sedang berusaha parkir dan putar balik ke arah yang berlawanan sesaat setelah menurunkannya. Beberapa saat, ia membiarkan kerudungnya basah hanya demi memastikan mobil beserta pengemudinya meninggalkan halaman rumah. Nadia berterimakasih, walau dalam hati.Setelah pertemuannya yang tiba-tiba karena motor mogok, Nadia berakhir di halaman rumahnya menjelang maghrib. Setelah cekcok kecil antara dirinya dan Raka, pria itu tanpa banyak bicara mengantar Nadia kembali ke rumah. Tak ada lagi yang mereka bicarakan sepanjang jalan. Suasana hening dan kaku.
Nadia tahu Raka cukup terkejut dengan rencana pernikahannya. Tapi tidak selamanya mereka harus seperti itu. Nadia sudah harus melangkah bersama pria yang dicintainya tanpa embel-embel masa lalu. Lagipula, sudah tidak tersisa apapun antara dirinya dan Raka selain cerita lalu saja.
"Teteh?! Ngapain? Ayo masuk!"
Nadia menoleh karena mendengar suara Dania memanggilnya dari teras rumah. Ia sampai tidak sadar kerudungnya sudah basah dan malah diam di depan gerbang tanpa masuk padahal hujan masih cukup deras untuk sekedar membasahi kepalanya.
"Tadi dianter siapa? A Raka ya?" Dania menginterogasinya sebelum Nadia tiba di teras.
"Iya." jawabnya singkat sambil melepas sepatu.
"Wah. Terus motor teteh dimana? Mogok lagi?" Dania berlari mengikuti Nadia yang berlalu begitu saja meninggalkannya di teras.
"Di bengkel. Besok mungkin teteh ambil." Nadia sebenarnya sudah siap melepas kerudungnya dan menggantinya dengan yang baru di dalam keranjang. Tapi urung karena Dania mengganggu pergerakannya.
"Widih, sudah berani diantar-antar pulang euy. Jangan-jangan teteh mau balikan ya sama A Raka?" Gadis remaja tanggung itu menggodanya seraya memerhatikannya dari arah meja makan dekat kamar mandi tempat Nadia melepas kerudung dan jaketnya.
"Apaan sih bocah." Nadia mengabaikannya dan melepas kerudung serta ciputnya yang basah. Rambutnya yang panjang sepunggung sengaja di gerai bebas dan dilipat dengan handuk kecil.
"Kenapa nggak teh? A Raka ganteng, baik, artis terkenal. Keluarga kita juga udah kenal banget sama A Raka." Dania memainkan sendok yang ada di atas meja. Sesekali melirik ke arah Nadia yang sedang sibuk menggosok rambutnya dengan handuk. "Kalau boleh jujur nih, Ia lebih suka teteh sama a Raka da. A Raka orangnya baik, perhatian sama teteh sama Ia. Ibu juga pasti setuju. Daripada sama bosnya teteh mas-mas itu. Ia nggak kenal sama dia."
Nadia yang semula sibuk mengurusi rambut dan baju kotornya diam sejenak. Memejamkan mata demi meredam amarah yang tiba-tiba muncul saat adiknya bicara padahal kondisinya ia sedang malas bicara apapun. Apalagi itu berhubungan dengan Raka.
"Ia!!" Nadia mendelik dan menatap tajam. Mengisyarat agar bocah itu diam dan tak bicara lagi demi keselamatan negara api.
"Ia bener kan? Mas-masnya teteh itu masa tiba-tiba datang ke rumah langsung lamar teteh? Maksudnya kenapa nggak tanya-tanya dulu sama Ia, sama ibu. Pendekatan gitulah singkatnya mah." Danis terdengar seperti menggerutu. Masih menatap Nadia dengan tatapan polos miliknya.
Nadia lebih memilih mengabaikan kelabilan adiknya itu. Ia mengacuh dan abai saja. Meski beberapa kali Dania mengungkapkan dukungannya pada Raka, tapi sedikitpun ia tak menggubrisnya. Akan sangat dimaklum untuk bocah SMP sepertinya masih mengutamakan looking yang bagus. Jadi anggaplah Dania sedang mengetes dirinya saja.
"Teh denger nggak sih?" ketusnya saat Nadia membawa keranjang berisi pakaian kotor miliknya.
"Iya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Dia
Romance[TAHAP REVISI] Nadia kira sudah bahagia dengan pernikahannya. Belum genap setahun, suaminya divonis penyakit langka dan kehilangan banyak jati diri. Satu fakta yang Nadia tahu, suaminya menceraikannya. Melepasnya kepada pria lain. Mengatasnamakan ke...