30. After Wedding

2K 123 26
                                    

A/N : Ada sedikit bagian yang mungkin  tidak cocok untuk pembaca dibawah umur. Kuperingatkan untuk menanggapinya dengan bijak ya.

****

Tepat pukul setengah 2 dini hari, Nadia selesai membersihkan semua make up yang menempel dari wajahnya. Setelah merayakan pesta pernikahan yang berlangsung meriah, kakinya sudah tidak sanggup berdiri karena terlalu banyak menyambut tamu dan berfoto. Ia duduk di kursi persis berhadapan dengan meja rias dan cermin yang biasa ia pakai berdandan setiap pagi. Mengusap handuk yang masih menggulung rambutnya.

Nadia menelan saliva susah payah. Rasanya seperti memakan kulit semangka bulat-bulat. Ia melirik suasana kamarnya yang dihias kain putih berkilauan dari sutera. Bunga mawar di tebar dimana-mana. Bahkan di atas ranjangnya. Gadis itu menghela nafas. Mengusap dadanya lalu berbisik tepat ke arah jantung dan paru-paru. Tidak bisakah jantungnya diam? batinnya.

Samar, ia mendengar suara gemercik air dari kamar mandi yang ada di sebelah kiri. Pintunya masih tertutup rapat. Di sana ada Adi sedang mandi. Nadia tak berani menoleh. Ia bahkan tak berani beranjak sedikitpun dari tempatnya.

Setelah acara selesai, ia dan Adi memang masuk ke kamar itu bersama. Tapi sepakat untuk membagi dua tempat mandi. Nadia mandi di kamar mandi milik Dania -di kamar adiknya-, sedangkan Adi mandi di kamar mandi miliknya. Ternyata, Nadia selesai lebih dulu. Saat ia masuk, Adi masih berada di kamar mandi. Seperti inilah, Nadia hanya mengenakan piyama tidur panjang, lengkap dengan ciput dan handuk menggantung di kepala. Suasana ini, Nadia benar-benar tidak terbiasa.

Sampai detik selanjutnya, ia mendengar suara pintu kamar mandi terbuka. Diikuti suara langkah yang pasti adalah suara Adi. Lagi, ia menelan saliva. Jantungnya makin tak karuan saat mendengar pria itu sepertinya selesai mandi.

"Sudah selesai?"

Suara Adi terdengar agak jauh. Sepertinya pria itu belum mendekat. Sedangkan Nadia masih tak berani menoleh ke arahnya karena malu.

"I-ya." sahutnya. Nadia mengeratkan genggamannya pada handuk yang masih menutupi kepala. Berkomat-kamit dalam hati. Sepertinya jika dibiarkan terus menerus, Nadia bisa kena serangan jantung.

"Kenapa?"

Nadia terperanjat merasakan sentuhan di bahunya. Spontan ia menoleh dan benar saja, Adi sudah berdiri tepat di belakangnya.

"Ahh, nggak." jawabnya. Nadia masih mencoba membuang wajah. Ia hanya tak siap. Terlalu canggung dan sulit mengendalikan perasaan. "Aku.. belum biasa, mas. Maaf." Nadia sedikit menurunkan intonasi bicaranya.

Adi yang semula berdiri di belakang Nadia, mulai bergerak pindah ke pinggir kanan. Lalu berjongkok menyamai tinggi Nadia yang sedang duduk. Juga meminta Nadia berbalik ke arahnya.

"Mulai sekarang, kamu harus terbiasa melakukannya bersamaku." Adi tersenyum manis dan halus. Menatap wajah istrinya yang merah merona. Tangan pria itu bergerak ke arah kepala Nadia. Mencoba menurunkan handuk dan melepas ciput yang masih menghalangi rambut Nadia dari pandangannya.

Nadia masih sedikit terkesiap, tubuhnya repleks menghindar walau tak begitu jauh. Ia menatap Adi ragu, namun pria itu tersenyum mencoba terus meyakinkannya.

"Apapun yang kamu tunjukkan padaku, itu halal. Kamu milikku sekarang. Rambutmu, tanganmu, semuanya, hanya aku yang boleh melihat dan menyentuhnya." Adi melepas perlahan ciput yang membalut kepala Nadia. Membiarkan rambut hitam tebal sepinggang Nadia terurai indah. Gadis itu akhirnya menerima dan pasrah. Ia hanya tak henti menatap wajah Adi yang teduh dan hangat. Seperti tangannya yang selalu hangat saat mengusap kepalanya.

"Sudah setengah dua, sudah ambil wudhu? Kita qiyam sama-sama ya." Adi berdiri dari jongkoknya. Berdiri menjulang di hadapan Nadia sambil mengulurkan tangan. Nadia mengangguk dengan senang hati, kemudian beringsut mengambil mukena di dalam lemari. Tak lupa dua sejadah ukuran sedang dari dalam sana.

Untuk DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang