****
Hujan gerimis lengkap dengan beberapa suara gemuruh petir ringan bersahutan diantara suara musik yang terdengar sepanjang kamar Nadia. Meski ibunya berkali-kali memintanya mematikan ponsel, itu tidak ia lakukan. Dirinya terlalu kesepian kalau harus mendengar suara petir di kamarnya. Juga akan bosan menunggu hujan reda sejak sore tadi.
Nadia membalikkan badannya menjadi menyamping menghadap pintu kamar. Menopang kepalanya yang mulai memberatkan rambut. Untuk beberapa saat ia memejamkan mata karena kantuk, tapi bangun lagi seperti orang sasah.
Nadia meracau kemudian bangkit menjadi duduk. Setiap kali matanya memejam, jantungnya terasa naik 10 meter dari tempat semula dan turun secara ekstrem. Ingatan-ingatan gila yang mengganggu ketenangan jiwanya. Nadia benar-benar muak.
Akhir-akhir ini dia terlalu banyak masalah sampai membuat tidurnya tidak nyenyak. Itu buruk untuk kesehatannya jika dibiarkan terus menerus, kan?
Sejak kemunculan Raka pertama kali, hatinya yang tidak siap membuat Nadia sasah jika bertemu. Sangat ingin menghindar tapi tak cukup daya sampai hanya diam membiarkan semuanya mengalir dan terlupakan. Kalau boleh memilih, ia masih lebih suka jika tidak bertemu lagi dengan pria itu. Hatinya sudah menyiapkan diri untuk baik-baik saja selama hampir 6 tahun. Terbiasa dengan hidup tidak mengenal Raka lagi dan melupakan masalah yang ada. Tapi hanya dalam waktu 1 hari, persiapannya runtuh. Nadia benar-benar tidak cukup berani untuk bicara.
"Teh."
Pintu kamarnya terbuka secara tiba-tiba. Adik perempuannya -Dania- muncul menyembulkan kepala tanpa permisi.
"Ada teh Dila di depan." katanya kemudian masuk ke kamar Nadia dan duduk di dekat ranjang.
"Oh iya." Nadia bangkit dari tidurnya menjadi duduk. Beringsut mengambil kerudung instan yang baru dibelinya minggu lalu. Ia membuka kembali tas kerjanya dan menyiapkan beberapa berkas dalam tas itu. Lalu mendekapnya sambil membawa keluar kamar.
Dila, sahabatnya selepas sholat magrib datang lewat telepon. Meminta bantuannya untuk meminjamkan beberapa proposal yang berkaitan dengan produk barunya. Alasannya sih, ada kerjaan mendadak dan Dila lupa membuatnya. Alhasil, gadis itu memohon-mohon dipinjami contoh yang sama agar tak kena marah atasannya.
Nadia tidak menutup pintu kamar karena masih ada Dania di dalam sana. Ia hanya melenggang melewati ruang tengah menuju ruang tamu. Menghampiri Dila yang katanya menunggu di ruang tamu. Benar saja, ia melihat Dila sedang duduk berbincang dengan ibunya di sana.
"Ibu tinggal ya." Ibunya pamit setelah menyambut Dila dan membawakan minuman. Nadia tersenyum dan berterimakasih pada wanita setengah baya itu. Lalu menghampiri Dila dan ikut duduk di dekatnya.
"Ini yang kamu maksud?" Nadia menyerahkan 3 copy proposal buatannya. Mata Dila bergerak-gerak dan berbinar, menarik proposal itu dalam pelukannya setelah sempat membuka lembar judul.
"Maaf ya, Nad aku pinjem dulu. Aku lupa buat. Pak Surya sudah nagih." desisnya sambil berterimakasih.
"Lain kali jangan main melulu. Kerja yang serius." tawanya diselingi senggolan pelan di bahu Dila yang ikut tertawa.
"Teh Dila telat datangnya! Padahal tadi ada a Raka."
Dila dan Nadia spontan menoleh ke arah pintu ruang tamu yang menyekat ruang tengah. Melihat ke arah Dania yang datang dengan ceria dan penuh kebanggaan.
"A Raka siapa?" tanyanya penasaran.
"Bukan siapa-siapa Dil." Nadia menyahuti sasah. Tangannya mengibas-ngibas ke udara meminta Dania menjauh dan tak bicara sembarangan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Dia
Romance[TAHAP REVISI] Nadia kira sudah bahagia dengan pernikahannya. Belum genap setahun, suaminya divonis penyakit langka dan kehilangan banyak jati diri. Satu fakta yang Nadia tahu, suaminya menceraikannya. Melepasnya kepada pria lain. Mengatasnamakan ke...