****
Adi menjinjing dasi dan tas kerja. Kaki jenjangnya menuruni anak tangga satu per satu. Matanya memedar ke kanan dan kiri, mencari keberadaan sang istri yang pamit menyiapkan sarapan. Adi tersenyum saat menangkap tubuh Nadia sedang berdiri membelakangi menghadap kompor. Ia sontak mendekat, sempat meletakkan tas kerja di atas meja makan. Lalu melingkarkan tangannya tepat ke pinggang wanitanya.
Nadia tampak terkejut dan nyaris berbalik sambil memegang sendok sayur di tangan.
"Mas sudah siap? Duduk aja dulu. Aku siapkan piring." Nadia memberi aba-aba. Menunjuk kursi paling dekat dengan dirinya.
Adi menggeleng. Menolak menjauh dari tubuh istrinya. "Belum ada ciuman selamat pagi buatku." rayunya mesra.
Nadia menoleh, melepas tangan Adi dan merenggangkan pelukan pria itu. Ia berjinjit lalu mencium sekilas pipi kanan Adi. Setelah itu kembali berbalik dan mengaduk supnya lagi.
"Sebelah kiri?" Adi tak terima. Ia menunjuk bagian lain di pipinya dan sedikit membungkuk.
"Supnya siap!" Nadia mematikan kompor. Mengabaikan Adi yang berdiri di belakangnya dengan mata yang berbinar.
Adi memajukan bibirnya sebentar. Kemudian duduk seperti yang diperintahkan istrinya. Ia mengalungkan dasi berwarna merah maroon ke leher, tapi tidak memakainya dengan benar.
"Hari ini ibu mau berkunjung. Mas bisa pulang cepat?" Nadia membawa semangkuk sup panas ke atas meja makan.
"Ibu? Sama mbak Dena juga?" Adi menoleh antusias.
"Ibu aja kayaknya." Nadia mengangguk lalu membetulkan kerudungnya.
"Kok nggak ngabarin, ya." Adi merogoh ponsel di saku dan mengecek layar notifikasi. "In sha Allah. Mas usahakan pulang lebih cepat, ya."
Nadia tersenyum menghampiri Adi. Ia berdiri tepat di hadapannya. Lalu meraih dasi suaminya yang masih menggantung.
"Kenapa?" Adi mendongak, menyadari perubahan mimik wajah istrinya. Nadia menggeleng pelan. Terus memasang dasi di leher Adi.
Pria itu kembali mengeratkan pelukan di pinggang istrinya. "Kamu khawatir soal kunjungan ibu?" tanya Adi menatap wajah Nadia.
Nadia membuang wajah sejenak. Kemudian berjongkok dan memeluk Adi erat. Pria di hadapannya terkejut dengan reaksi Nadia yang tiba-tiba. Sepertinya memang benar, Nadia menghawatirkan sesuatu.
"Ini sudah bulan ke-6 sejak pernikahan, Mas. Tapi..." gumam Nadia menggantung. Masih memeluk Adi yang mencoba mengusap punggungnya.
"Kan sudah ku bilang, nggak usah khawatir soal itu. Ibu nggak bermaksud memaksamu, kok. Kita nikmati saja waktu berdua dulu." Adi mengusap punggung Nadia halus. Berharap mengalirkan semangat untuk Nadia.
"Mas nggak ngerti." Nadia menunduk. Menyembunyikan wajahnya di dada Adi dengan nyaman. Adi menghela nafas beberapa saat, kemudian merenggangkan pelukannya lalu menatap wajah Nadia lagi.
"Sayang, dengerin aku! Kalau ibu bahas soal itu lagi, dengarkan saja. Ini pernikahan kita. Hidup kita. Aku dan kamu yang menjalani. Kita bahkan menikah belum setahun, kenapa buru-buru?" Adi mengusap pipi istrinya lembut.
"Lagipula, jadi orang tua itu nggak mudah. Butuh edukasi biar anak-anak kita hidupnya berkualitas." Adi tersenyum mengukup kedua tangannya di pipi Nadia yang menatap percaya diri.
"Sing sabar to, Dik. Kalau sudah rejeki, mau 1, 2, 3 atau bahkan 11 anak juga Allah kasih." Adi mengejek lalu mengusap kepala Nadia yang berdiri spontan.
"Ayo sarapan. Nanti mas telat masuk kantor." Nadia membuka kursi bersebelahan dengan Adi. Ia menyendokkan nasi lengkap dengan lauk untuk suaminya. Sedangkan pria di sebelah itu hanya tersenyum menahan tawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Dia
Romansa[TAHAP REVISI] Nadia kira sudah bahagia dengan pernikahannya. Belum genap setahun, suaminya divonis penyakit langka dan kehilangan banyak jati diri. Satu fakta yang Nadia tahu, suaminya menceraikannya. Melepasnya kepada pria lain. Mengatasnamakan ke...