09 • Rhetorical

16.3K 1.2K 371
                                    

TIDAK terasa, semester 1 telah dilewati siswa-siswi SMA Aksara. Class meeting yang diadakan satu minggu setelah hari terakhir UAS pun tidak membuat acara tersebut sepi. Di luar dugaan, justru acara itu mendapat antusiasme yang tinggi.

Lapangan basket dan futsal apalagi. Salah jika ada yang mengatakan bahwa kedua lapangan tersebut sepi penonton. Karena sebaliknya, teriakan menyemangati terdengar ramai, seolah masing-masing pemilik suara berlomba-lomba untuk menjadi yang terkencang hingga terdengar sampai ke telinga pujaan hati mereka.

Hari ini, setelah libur dua minggu—yang tentu saja tidak cukup—murid-murid kembali masuk sekolah untuk hari pertama mereka di semester baru.

SMA Aksara kembali dipenuhi siswa-siswi dengan berbagi ekspresi wajah. Ada yang berseri-seri karena senang akhirnya mengakhiri masa gabutnya di rumah. Namun tidak jarang pula yang menampilkan wajah murung, kesal sampai beler khas orang kekurangan tidur karena belum dapat menyesuaikan jam tidur ketika liburan dan saat masuk sekolah.

"Cimanggis, Cimanggis, Cimanggis!"

"Cilandak, cilandak, cilandak!"

"Citrenggiling, citrenggiling, citrenggiling!"

Spontan, Gian menoyor kepala Raden mendengar teriakan tersebut. "Mana ada citrenggiling."

"Adain, lah," balas Raden tak acuh.

Raden kembali bergelantungan di gerbang sekolah seraya berteriak layaknya kenek angkutan umum. Siswa-siswi yang baru datang lantas mengernyit geli melihat kelakuan cowo tersebut. Langkah mereka pun sengaja dipercepat seakan Raden adalah virus yang harus dihindari. Walau memang begitulah kenyataannya.

"Cianjing—"

Raden berhenti berteriak ketika melihat Gian melotot ke arahnya.

"Eh kepeleset, maksudnya Cianjur." Raden cengegesan. "Cianjur, Cianjur, Cianjur!"

Langit menggeleng-gelengkan kepalanya heran. Tidak mengerti lagi mengapa tahan berteman dengan spesies semacam Raden.

"Terus, Den. Lanjutkan!" seru Rangga sok menyemangati. Padahal dalam hati, tak terhitung lagi berapa kata kasar yang dikeluarkan, merutuki betapa memalukannya temannya itu.

Raden menoleh, lantas mengacungkan jempol ke arah Rangga.

"Ayo, neng bu kakek nenek buyut mpok mbok masuk aja. Masih muat. Angkot abang luas seluas ruang hati abang untuk eneng cantik ini," seru Raden sebelum menggerakkan tangannya seperti sedang melemparkan kiss-bye kepada salah satu siswi putri yang baru datang. Tak tanggung-tanggung, Raden juga mencolek pipi cewe tersebut dengan genit membuat yang dicolek melotot kaget dan segera berjalan dengan cepat.

"Yah, kabur," ucap Ale.

Rangga menatap Raden. "Mampus kabur, Den."

"Sombong banget, woi!" teriak Gian.

Raden pun tak mau kalah. Ia melontarkan teriakan yang cukup keras mengingat jarak cewe itu yang semakin jauh.

"Ya elah, si eneng sok malu-malu. Gak kuat sama pesona abang ya, Neng?"

Dan teriakan itu sukses membuat cewe tersebut mempercepat langkahnya dengan kaki yang dihentak-hentakkan.

EXILETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang