BINTANG memasuki rumah dan melempar tasnya ke sembarang arah. Ia berjalan menuju dapur untuk menghilangkan dahaga. Biasanya ibunya sudah berada di dapur, siap dengan camilan buatannya. Namun hingga Bintang selesai mengambil minum dan mulai menyusuri rumah pun ia tetap tidak menemui keberadaan kedua orangtuanya.
"Ayah, Bunda, Bintang pulang!" teriak Bintang berharap ada jawaban terdengar.
Hingga beberapa detik terlewat pun, rumah tetap hening. Tidak ada sahutan apapun. Bintang mengernyit bingung. Kemana Ayah dan Bundanya? Sekarang pukul enam sore dan seharusnya keduanya telah pulang.
Di rumah memang hanya ada ia dan kedua orangtuanya. Biru, Kakak Bintang, sedang berlibur bersama teman-temannya dan akan menginap di Bali selama lima hari ke depan. Memang menyenangkan jika sudah dewasa, semuanya jadi terasa bebas. Tidak perlu mengeluarkan tenaga ekstra untuk izin pergi atau melewati pengawasan yang ketat.
"Ayah? Bunda?"
Bintang terus mengelilingi rumahnya yang dapat dikatakan cukup besar. Namun yang dicari tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Bintang pun mengerutkan kening.
PRANG!
Suara pecahan membuat Bintang melotot kaget. Tak lama kemudian, suara isak tangis yang sangat menyesakkan terdengar. Bentakan yang Bintang kenali adalah suara ayahnya pun seakan melengkapkan suasana.
"Kita berdua tau pernikahan ini tidak atas dasar cinta! Untuk apa kamu tetap mempertahankannya?"
Teriakan itu sukses membuat mata serta mulut Bintang membentuk lingkaran besar. Cewe itu menutup mulutnya terkejut. Dengan cepat, ia berlari menaiki tangga dan menghampiri kamar orangtuanya, di mana sumber suara itu berasal. Berhenti di depan pintu, Bintang pun menimang untuk membuka pintu tersebut atau tidak.
"Aku mempertahankan anak kita, Mas." Ucapan penuh rasa sakit itu keluar dari mulut bundanya, Bulan, membuat Bintang meringis. Hatinya seperti teriris.
"Aku kan sudah bilang, kamu bawa saja keduanya. Aku sudah tidak bisa bersamamu lagi!" Bentakan itu kembali menggema membuat Bintang menahan napasnya karena terkejut.
"Tapi Mas, setelah dua puluh tiga tahun pernikahan kita, tidak pernahkah sedetik pun rasa cinta itu muncul?"
Suara serak itu kembali terdengar diiringi isak tangis yang Bintang yakin, mampu menyayat hati siapapun yang mendengarnya.
"Kamu tahu aku tidak pernah dan tidak akan pernah bisa mencintaimu selama apapun aku hidup bersamamu. Sejak awal kamu tahu itu. Tapi apa yang kamu lakukan? Kamu memaksanya! Itu yang selalu kamu lakukan, Bulan. Memaksa segala hal untuk bisa menjadi milikmu."
Napas yang tercekat karena terkejut pun terdengar. "Kukira kamu bisa membuka hatimu untukku. Tujuh belas tahun bukanlah waktu yang sebentar. Sekeras itukah hatimu sampai tidak bisa menerimaku?"
Suasana lengang sejenak. Tak terdengar suara apa pun hingga decakan frustasi disusul gebrakan meja menggema di seluruh ruangan. Bintang melompat kaget. Ia menggigit bibirnya bawahnya. Alisnya bertaut cemas.
"Bisa kamu hilangkan sifat keras kepalamu itu? Aku tidak suka dipaksa apalagi menyangkut tentang siapa yang ada di hatiku sekarang. Kamu tidak berhak menanyakan itu!" bentak Brian dengan nada meninggi, meninggalkan tatapan tidak percaya dari wanita di hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
EXILE
Teen Fiction#3 in teenfiction (21/06/19) Menghabiskan hampir lima belas tahun dengan perempuan yang sama lagi dan lagi? Bagi Altair Langit Alderado, melihat kehebohan Bintang bukan sesuatu yang mengejutkan. Memergoki kecerobohan Bintang pun tak mempan membuat...