18 • Question Mark

11.6K 802 279
                                    

Satu minggu kemudian.

AROMA makanan yang saling melebur tercium sedetik setelah kelima cowo itu memasuki area kantin. Dari ekor mata, kelimanya tentu saja menyadari lirikan hingga tatapan terang-terangan dari kaum hawa. Bukannya ingin menyombongkan diri, namun hal tersebut sudah dianggap biasa. Bahkan terlampau membosankan untuk dilalui setiap hari.

Setelah sampai di meja tengah kantin, kelimanya segera berpencar. Ada yang memesan makanan. Ada pula yang hanya duduk di tempat memilih untuk menitip pesanan saja. Bahkan ada pula yang tanpa tahu malu, berteriak kencang ke ujung kantin demi memesan makanannya.

"Bude, nasi ayam satu kayak biasa. Bayarnya besok ya, Bude!" teriak Raden dengan kencang.

Hampir seluruh pasang mata beralih ke arah Raden yang dengan wajah tak berdosanya, menyengir lebar seakan yang baru saja ia lakukan adalah hal yang lumrah.

Rangga yang duduk di samping Raden pun tak dapat menahan tangannya untuk tidak menoyor kepala cowo itu.

"Heh, suara lo ngalahin cemprengnya anak saman. Pengang telinga gue," gerutu Rangga sambil mengusap telinga kanannya.

"Emang iya?"

"Iya!" seru Rangga.

"Bodo."

Rangga mendengus kasar. Ia kembali menoleh ke depan dan mendapati Ale yang tengah meletakkan dua mangkuk soto di atas meja kantin.

"Eh, Le. Temen siapa sih ini?" tanya Rangga dengan jari yang menunjuk ke arah Raden.

"Yang jelas bukan temen gue," jawab Ale dengan santai dan sukses mengundang tatapan jengkel dari Raden.

"Zaman sekarang tuh harus praktis dan efektif. Ngapain jalan kalo dengan teriak pun tetep bisa didenger bude?"

"Cuma duduk manis, nunggu dan beberapa menit kemudian, makanan datang. Hidup jangan dibawa ribet," oceh Raden seraya menyengir lebar. "Ya kan, Le?"

Ale memasang tatapan tidak percaya sebelum membalas, "Sesat lo."

Rangga mengangguk setuju. "Bukan kaleng-kaleng sesat lo, Den."

Seakan menganggap hal tersebut adalah suatu pujian, Raden kembali menampilkan wajah tanpa dosa lengkap dengan cengiran lebar.

Selang beberapa menit kemudian, Raden menyipitkan mata ketika menangkap cewe yang tengah berjalan memasuki kantin seraya berbincang dengan kedua temannya. Menyadari bahwa ketiga cewe itu adalah Bintang, Keisha dan Rara, Raden pun melambaikan tangan.

"Bintang! Keisha! Rara!"

Merasa terpanggil, ketiganya spontan menoleh ke arah sumber suara. Mendapati Raden, Rangga dan Ale duduk di meja tengah kantin, Keisha dan Rara pun berjalan menghampiri.

"Gercep banget lo pada," komentar Keisha setelah mengambil tempat duduk di samping Rangga.

"Si Raden mah emang bolos dari pagi. Makanya langsung nyamperin kita-kita," balas Rangga.

"Bolos mulu lo, Den. Kapan belajarnya?" omel Rara.

"Santai aja sih, masih kelas sebelas ini. Pas kelas dua belas tuh, langsung gas pol."

Menyadari ketidakadaan Bintang, Rangga pun menoleh ke pintu masuk kantin dan mendapati Bintang yang masih setia pada posisinya.

Rangga pun berseru, "Bin, sini!"

Awalnya Bintang hanya diam. Namun setelah beberapa detik menjeda, ia pun melangkahkan kakinya.

"Ngapain diem doang di sana? Diculik Dirga bikin otak lo lemot seketika?" celetuk Raden.

EXILETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang