PAGI tadi, dokter mengabarkan bahwa kondisi Langit telah memungkinkan untuk dijenguk. Bintang dan teman-temannya pun segera menuju rumah sakit sepulangnya dari sekolah. Menjelang maghrib, satu per satu temannya mulai pamit dikarenakan hari mulai sore.
Namun hingga waktu menunjukkan pukul delapan malam pun Bintang masih betah berlama-lama di ruangan bernuansa putih ini.
Abigail tengah keluar untuk membeli makan malam membuat Bintang berinisiatif untuk berganti posisi dengan wanita itu.
Bintang tidak berpindah tempat, tetap duduk manis di kursi yang berada tepat di samping ranjang pasien. Ia meraih hoodie-nya. Suhu pendingin ruangan yang rendah mengharuskan Bintang memakai lapisan kain tambahan guna menghalau rasa dingin tersebut.
Matanya menatap lurus ke arah tubuh yang terbaring lemah di hadapannya. Bintang mengeratkan tautannya dengan tangan Langit.
"Lang, bangun dong. Lo gak kangen apa sama gue?" lirih Bintang dengan suara parau.
"Lo harus ngejar cita-cita lo jadi businessman sukses. Lo juga belum wujudin mimpi punya perusahaan dan karyawan sendiri. Ayo, Lang, bangun. Gue bakal bantu lo wujudin mimpi itu. Kita berjuang sama-sama."
Hening.
Bintang tertawa hambar. Tentu saja. Bagaimana bisa Langit menanggapi ucapannya ketika cowok itu tidak sadarkan diri?
"Gue ...." Bintang memberi jeda, "gue minta maaf, Lang."
"Maaf karena gue gak pernah bisa jadi sahabat yang baik buat lo. Maaf juga kalo selama ini gue egois dan mementingkan kebahagiaan gue sendiri. Maaf karena gue terlalu bodoh untuk menyadari perasaan lo ke gue."
Bintang menghela napas berat.
"Inget gak, Lang, pas lo marah dan ngelarang gue deket sama Samudra?"
Bintang tertawa hambar. "Bisa-bisanya gue gak sadar maksud dari larangan lo selama ini."
Bintang mengeratkan genggamannya dengan tangan Langit, berharap dapat menyalurkan kekuatan meskipun mustahil rasanya. Langit tetap bergeming seakan belum diberi izin untuk membuka mata oleh Yang Mahakuasa.
"Lagi-lagi gue merasa bodoh karena seenaknya menyalahkan lo atas kasus penculikan waktu itu. Siapa sangka orang di balik selamatnya gue itu lo?"
Bintang mengusap pelan tangan hingga lengan Langit, merasakan tubuh yang kian hari kian mengurus. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata yang terus mengalir tanpa dapat dikendalikan.
"Sialan, Lang. Gak lucu banget. Lo lagi bercanda 'kan? Ayo dong bangun. Kata orang, kebanyakan tidur bisa bikin gemuk loh."
Tatapan Bintang melunak, berusaha mengukir tawa. Namun tetap saja kentara palsunya. Terdapat kegelisahan yang nyata di balik iris coklatnya, kecemasan di balik senyum getirnya, juga keresahan dalam setiap denyut jantungnya.
Bintang melempar kembali ingatannya tepat pada hari terakhir ia bertatap muka dan bertukar obrolan dengan sosok di hadapannya.
Langit memberikan satu es krim dengan gumpalan pink kepada Bintang sedang ia memegang cone dengan gumpalan berwarna putih. Di hadapannya, senyum Bintang merekah ketika menerima dessert kesukaan dengan rasa yang juga ia sukai.
"Tumben baik," puji Bintang sembari menjilat es krimnya.
Pemandangan taman kota ditambah sinar senja yang hangat seakan sengaja memanjakan siapa saja yang datang. Es krim di tangan serta keberadaan Langit di sampingnya pun melengkapi suasana yang lebih dari nyaman bagi Bintang.
KAMU SEDANG MEMBACA
EXILE
Teen Fiction#3 in teenfiction (21/06/19) Menghabiskan hampir lima belas tahun dengan perempuan yang sama lagi dan lagi? Bagi Altair Langit Alderado, melihat kehebohan Bintang bukan sesuatu yang mengejutkan. Memergoki kecerobohan Bintang pun tak mempan membuat...