15.2 • Kidnap

12.2K 759 169
                                    

"Lo," Jari telunjuk itu berhenti tepat di depan batang hidung Dirga, "gak berperikemanusiaan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Lo," Jari telunjuk itu berhenti tepat di depan batang hidung Dirga, "gak berperikemanusiaan."

Dirga menyentak telunjuk tersebut sebelum berdecak keras.

"Lo ngatain gue?" cecar Dirga.

"Menurut lo?"

Hening.

Ruangan yang lebih mirip seperti gudang raksasa ini terasa lengang. Dengan suasana yang sangat mencekam, Bintang tentu saja tidak dapat berpikir jernih perihal cara mencari jalan keluar. Tubuhnya kaku tidak berdaya akibat lilitan yang melapisi hampir seluruh bagian tubuhnya.

"Untuk apa?" tanya Bintang.

Cowo itu mengernyit, menunjukkan kebingungan yang sangat ketara dari wajahnya.

"Untuk apa lo nyulik gue dan apa pengaruh masalah lo ke gue?" tanya Bintang memperjelas.

Satu alis Dirga terangkat, ia melangkahkan kaki mendekat.

"Mungkin gak berpengaruh apa-apa bagi lo, tapi bagi gue, lo adalah umpan untuk menjatuhkan dia."

Telunjuk Dirga berhenti tepat di depan batang hidung Bintang. Di belakang telunjuk itu, Bintang dapat melihat sorotan tajam yang seolah berusaha menusuk dalam-dalam kedua bola matanya.

"Kenapa lo berusaha untuk menjatuhkan dia?"

Ada jeda sebentar sebelum jawaban keluar dari mulut Dirga.

"Seperti yang tadi gue bilang, sahabat lo itu brengsek. Menutupi kesalahan dengan keramahan dan kebaikan palsu yang membuat semua orang percaya kalo bukan dia yang salah."

Lengang sejenak. Hembusan napas yang tidak teratur akibat emosi yang meluap-luap menjadi semacam musik pengiring sebelum akhirnya Bintang angkat suara.

"Gue gak ngerti satu pun kata yang lo bilang daritadi tapi kalo gue boleh bertanya," Bintang memberi jeda, "apa masalahnya?"

"Lo emang gak tahu atau pura-pura gak tahu?" tanya Dirga dengan tatapan menyelidik.

"Kalo gue tahu, gue gak akan menampakkan ekspresi bingung yang sangat idiot dan memalukan di depan lo."

Dirga mengangkat satu alisnya. Ia merasa deja vu dengan nada sarkastik yang ia dengar. Jauh dalam lubuk hatinya, perasaan itu masih ada. Tumbuh dan berkembang bukannya layu kemudian mati seperti yang selama ini ia kira. Kini Dirga mengerti mengapa Langit nyaman berada di sekitar Bintang.

EXILETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang