DERING telepon yang terdengar nyaring membuat Langit membuka mata. Ia meraba-raba nakas di samping tempat tidur sebelum meraih ponselnya. Setelah mendapatkan benda kecil tersebut, Langit pun menekan simbol hijau dan mendekatkan ponsel ke telinganya.
"LANGIT, BANGUN!"
Refleks, Langit menjauhkan ponsel tersebut dari telinganya ketika teriakan kencang tersebut memenuhi indra pendengarannya.
"Lo gila? Ngapain nelepon di jam tiga pagi?" semprot Langit dengan kesal.
Kekehan pelan terdengar dari seberang sana.
"Mau ngasih tau sesuatu, tapi jangan sekarang. Hari ini gue sendirian di rumah dan pasti bakalan bosen banget. Jadi kita jalan ya, Lang? Please." Bintang mengubah intonasi suaranya menjadi lebih imut.
Langit melongo tidak percaya. Sedetik setelahnya ia berdecak kesal.
"Terus ngapain ngajaknya jam tiga pagi? Kan masih bisa nanti. Ganggu tidur gue aja sih lo," sungut Langit.
Langit dapat mendengar kekehan pelan dari seberang sana.
"Kalo gue ngajaknya kesiangan, pasti lo males terus gak mau," balas Bintang beralasan.
"Gak jam tiga pagi juga kali."
"Ya udah maaf. Pokoknya hari ini harus jalan. Titik," ucap Bintang memaksa.
"Gue ada sparring basket hari ini."
"Ya udah gue ikut!" seru Bintang bersemangat.
"Gak," tolak Langit segera.
"Please, Lang. Gue ikut ya?"
"Gak ah, ribet bawa cewe. Kalo lo ilang, nyokap lo pasti nanyain terus nanti gue lagi yang ribet."
"Kayak barang aja deh ilang-ilang. Gak bakal elah."
"Gak ah."
"Sekali ini aja kok."
"Sekali enggak tetep enggak."
Hening sejenak.
Langit meletakkan ponsel di atas nakas namun dengan menyalakan pengeras suara sehingga jika Bintang berkata sesuatu, Langit tetap dapat mendengarnya. Cowo itu menarik selimut hingga menutupi setengah bagian tubuhnya dan bersiap untuk tidur kembali.
Awalnya Langit tak menyadari. Namun keheningan yang terjadi hingga beberapa menit kemudian membuat ia merasa ada yang janggal. Langit meraih kembali ponselnya untuk memastikan apakah telepon tersebut sudah dimatikan atau belum.
Layar yang menunjukkan angka 6:58 tanda telepon telah berlangsung selama hampir tujuh menit pun sukses menciptakan kernyitan tanda bingung pada dahi Langit.
"Bin?"
Hening.
"Bintang? Masih bangun?"
Tetap tidak ada suara.
Langit berasumsi bahwa Bintang telah kembali tidur. Ia pun memutuskan untuk mematikan sambunga telepon. Namun belum sempat menekan simbol merah, suara Bintang kembali memasuki indra pendengarannya.
"Masih."
Langit terkejut. Ia mengelus dada sembari menghela napas pelan. "Creepy banget sih lo."
"Bodo."
Langit menautkan alis. Awalnya ia bingung. Namun ketika akhirnya menyadari apa yang sebenarnya terjadi, tawanya pun meledak.
"Astaga, Bin. Gitu doang kok ngambek."
KAMU SEDANG MEMBACA
EXILE
Teen Fiction#3 in teenfiction (21/06/19) Menghabiskan hampir lima belas tahun dengan perempuan yang sama lagi dan lagi? Bagi Altair Langit Alderado, melihat kehebohan Bintang bukan sesuatu yang mengejutkan. Memergoki kecerobohan Bintang pun tak mempan membuat...