GIAN menjitak dahi Raden dengan keras. Penyebabnya? Tentu saja lawakannya yang seperti biasa, sangat asal dan tidak berfaedah.
"Prihatin gue sama otak lo, Den," ledek Gian.
"Gue juga heran." Ale menggeleng-gelengkan kepala.
"Kalo di dunia ini ada service otak, gue rela ngeluarin berapapun demi baliknya kenormalan lo, Den." Rangga menutup celetukan mereka sembari terkekeh pelan
Tawa kedua temannya meledak. Raden yang mendengar itu pun mendengus kesal.
"Gini-gini gue berjasa. Coba kalo lo gak temenan sama gue, dijamin masa-masa SMA lo bakal datar sedatar mukanya Langit sekarang."
Merasa terpanggil, Langit pun menoleh. Beberapa detik setelahnya, ia melemparkan tatapan tajam ke arah Raden.
"Mampus lo, Den," cicit Rangga.
Kontan, Raden melotot kaget sebelum menyengir lebar lengkap dengan jari telunjuk dan tengah yang mengacung. "Ampun, Bang. Keceplosan."
"Lo sih, Den. Udah tau belakangan ini si Langit lagi sensi-sensinya," timpal Gian. Kini tatapan cowo itu berpindah ke arah Langit. "Kenapa lo, Bro? Ada masalah?"
"Nah iya, lo kenapa belakangan ini?" Rangga ikut bertanya.
"Lebih tepatnya, lo dan Bintang kenapa belakangan ini?" timpal Ale.
Langit diam, tidak menjawab. Pikiran yang bercabang membuat ia tidak bisa fokus beberapa hari belakangan. Alhasil, amarah lah yang jadi pelampiasan.
Langit tidak sebodoh itu untuk mengakui bahwa pikirannya memang berpusat pada Bintang. Lebih tepatnya, perkataan cewe itu.
Sehari setelah pertengkarannya di lift tempo hari, Samudra diperbolehkan untuk pulang dan beristirahat di rumah. Selama seminggu, Bintang nonstop mengunjungi rumah Samudra. Selama itu pula, Langit berusaha berbicara dengan Bintang yang selalu saja berakhir sama.
Diabaikan.
"Lang."
Panggilan dan tepukan di bahu membawa Langit kembali pada realita. Menoleh ke samping, ia mengernyit ketika mendapati tatapan penasaran dari keempat temannya.
"Lo belum jawab pertanyaan kita." Suara Gian terdengar menuntut.
Baru saja ingin menjawab, pemandangan yang berada tak jauh di hadapannya membuat suara Langit tertahan. Keempat temannya pun serentak mengalihkan pandangan ke arah objek yang dituju Langit.
"Hah, serius? Terus dianya gimana?"
"Langsung kabur. Takut katanya."
Tawa yang sangat Langit kenali tertangkap telinganya. Perlahan membesar dan membesar seiring langkah kaki yang semakin mendekat.
Tepat ketika ia akan berpapasan dengan cewe itu, tawa tersebut meredam seketika. Sorot bahagia itu lenyap tergantikan oleh raut terkejut yang setelahnya berubah menjadi tatapan penuh amarah.
Samar-samar, kernyitan pada dahi Langit terbentuk. Perasaan itu terus bergejolak memaksa Langit untuk mengobrol atau sekadar menyapa cewe yang ia akui, sangat ia rindukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
EXILE
Teen Fiction#3 in teenfiction (21/06/19) Menghabiskan hampir lima belas tahun dengan perempuan yang sama lagi dan lagi? Bagi Altair Langit Alderado, melihat kehebohan Bintang bukan sesuatu yang mengejutkan. Memergoki kecerobohan Bintang pun tak mempan membuat...