LANGKAH kaki terdengar menggema hingga ke seluruh koridor rumah sakit. Teriakan yang menyerukan nama yang sama lagi dan lagi pun sukses menarik perhatian beberapa dokter dan suster yang melewati.
Setelah orangtua Langit menerima panggilan telepon dari rumah sakit mengenai kecelakaan yang dialami buah hatinya, keduanya bergegas menuju rumah sakit yang dimaksud.
Raungan tangis yang berasal dari rumah sebelah tentu menimbulkan tanda tanya dari Bulan dan Brian sebagai tetangga. Akhirnya, setelah menjemput Bintang di salon, seluruh keluarga Bintang dan Langit bersama-sama menuju rumah sakit.
Bintang berhenti ketika pasangan suami-istri di depannya juga berhenti. Ruang ICU yang tampak jelas di hadapannya membuatnya resah bukan main. Panik, cemas, khawatir hingga takut menggelumuti dirinya membuat kata tenang sulit sekali untuk direalisasikan.
"Kamu tenang dulu ya, sayang. Anak kita kuat. Langit pasti bisa bertahan."
Abraham, Ayah Langit, tampak memeluk sembari mengusap kepala istrinya dengan lembut, berharap dapat menyalurkan rasa tenang.
"Aku takut, Mas."
"Berdoa aja. Langit cukup kuat untuk dapat bertahan. Jagoan kita bukan anak yang lemah 'kan, sayang?"
Mendengar kata-kata penyemangat tersebut, Bintang tak kuasa menahan air matanya. Tubuhnya luruh seketika. Ia mengusap wajah dengan gusar. Rias wajahnya luntur. Gaun dan tatanan rambutnya pun jauh dari kata rapi.
Pelukan hangat yang menyambut tubuhnya dari samping membuat air matanya kian mengucur deras. Sekelebat bayangan tentang memori-memori indahnya bersama Langit kembali hadir seakan sengaja meruntuhkan pertahanannya.
"Udah, Bin. Langit pasti baik-baik aja," ucap Biru berusaha menenangkan.
Bintang menggeleng-geleng. "Gue takut, Bang."
"Lo kenal Langit 'kan? Berantem aja dia bisa, masa bertahan dari rasa sakit gini gak bisa?"
Bintang tak menjawab. Ia menundukkan kepala, berusaha meredam suara tangis dengan menutup wajah dengan kedua tangan. Biru mengusap-usap kepala adiknya dengan lembut.
"Langit bakalan baik-baik aja. Dia pasti kuat. Lagipula, kita 'kan belum denger hasil pemeriksaan dokter. Jangan mikir yang aneh-aneh dulu."
Bulan ikut duduk di samping Bintang sebelum memeluknya dengan erat.
"Kamu tenang dulu ya, Bin. Kita doakan yang terbaik untuk Langit," ucap Bulan dengan nada lembut khas seorang ibu.
Wanita itu menyelipkan helai rambut Bintang ke telinga. Ia menepuk pelan bahu Bintang sembari tersenyum lembut.
Brian tiba-tiba saja mendekat. Melihat betapa kacau anaknya saat ini, pria itu pun berjongkok di hadapan Bintang. Ia mengusap pelan kepala sang buah hati.
"Langit anak baik. Dia pasti baik-baik aja. Ayah yakin Langit anak yang kuat, yang gak lemah apalagi mudah menyerah," ucap Brian.
Mendengar kalimat pujian yang keluar dari mulut ayahnya, Bintang pun mendongak. Keningnya mengernyit bingung.
"Ayah udah gak marah sama Langit?" tanya Bintang heran.
Seingat Bintang, hal terakhir yang ia dengar tentang Langit dari ayahnya adalah sesuatu yang buruk, ditambah lagi dengan larangan ayahnya untuk tidak dekat-dekat dengan cowok itu.
Lalu mengapa ayahnya mendadak memuji Langit?
"Selama ini Ayah salah. Langit sungguh sosok yang mulia, peduli dengan sesama dan satu hal yang membuat Ayah lebih kagum lagi ...." Brian memberi jeda, "mendahulukan kebahagiaan orang lain dibanding kebahagiaannya sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
EXILE
Teen Fiction#3 in teenfiction (21/06/19) Menghabiskan hampir lima belas tahun dengan perempuan yang sama lagi dan lagi? Bagi Altair Langit Alderado, melihat kehebohan Bintang bukan sesuatu yang mengejutkan. Memergoki kecerobohan Bintang pun tak mempan membuat...