MALAM hari memang waktu terbaik untuk merenung. Seakan menjadi realisasi dari arti namanya, di sinilah Bintang berada, duduk termenung dengan secangkir coklat panas di tangannya. Udara dingin seakan terkalahkan oleh indah-gemerlapnya kota. Dari rooftop rumahnya, Bintang dapat melihat dengan jelas bagaimana Kota Jakarta tetap hidup meskipun waktu telah telah menyentuh angka tiga pagi.
Bintang memejamkan mata, menikmati udara malam yang berembus melewati wajahnya. Sepertinya, sindrom insomnia dadakannya tak kunjung hilang mengingat sampai saat ini, ia masih sering terbangun secara tiba-tiba.
"Bintang?"
Panggilan seseorang dari belakangnya membuat wanita itu menoleh. Tak jauh dari dirinya, tampak seorang lelaki tengah menutup pintu penghubung sebelum berjalan ke arah dirinya. Bukannya duduk, yang pertama kali lelaki itu lakukan adalah melepas jaket sebelum memakaikannya pada tubuh Bintang.
"Dingin-dingin begini kok malah di luar?"
"Seperti biasa, gak bisa tidur," jawab Bintang. "By the way, thanks jaketnya."
"Anything for you."
Bintang kembali menatap pemandangan yang cukup menawan dari atas sini. Langit benar-benar telah mempersiapkan segalanya. Rumah bergaya kontemporer namun tetap memasukkan unsur natural merupakan rumah impiannya sejak lama. Terlebih dengan adanya rooftop yang memanfaatkan sebagian lantai tiga rumahnya, kata senang bahkan tak cukup untuk menggambarkan perasaannya saat ini.
"Lang, kamu nyangka gak sih bakal end-up bareng aku? Maksud aku, kita sahabatan dari kecil. Bahkan temen SMA kita aja gak percaya pas tau kita pacaran. Terus kenapa kamu pilihnya aku coba?"
Ada hening sejenak sebelum suara berat itu terdengar. "Kalo aku enggak, justru aku udah nargetin itu dari lama."
Bintang menoleh. "Maksudnya?"
"Aku pernah bilang aku udah suka kamu dari lama dan ketika aku berhasil dapetin kamu, saling nyaman dan komitmen satu sama lain, udah hafal baik-buruk satu sama lain, restu orangtua di tangan, finansial terjamin, ya buat apa nunggu lagi?"
"Gak akan ada Bintang-Bintang lainnya di dunia ini, cuma ada satu. Jadi, buat apa repot-repot cari yang lain?"
Bintang terenyuh. Ah sial, Langit memang selalu berhasil mengambil alih kendali hingga kini bumerangnya menancap persis di relung hati Bintang.
"Oke, Lang. Satu-kosong," sahut Bintang sambil memutar bola mata.
Langit tertawa puas. "Kamu sendiri, kenapa pada akhirnya nerima aku?"
Bintang mendongak, tampak berpikir sejenak. "Entahlah, alami aja gitu. Mungkin aku emang udah suka kamu dari lama tapi akunya aja yang terlalu naif untuk sadar." Bintang terdiam lama sebelum tersenyum penuh arti. "Satu sama."
Langit mengernyit. "Mana ada. Itu gak dihitung lah."
"Gak peduli, pokoknya tetep dihitung." Bintang terkekeh pelan. Tiba-tiba saja ia memutar tubuhnya hingga sepenuhnya menghadap Langit. "Eh iya, dulu aku gak suka banget kamu deket sama Lentera."
KAMU SEDANG MEMBACA
EXILE
Teen Fiction#3 in teenfiction (21/06/19) Menghabiskan hampir lima belas tahun dengan perempuan yang sama lagi dan lagi? Bagi Altair Langit Alderado, melihat kehebohan Bintang bukan sesuatu yang mengejutkan. Memergoki kecerobohan Bintang pun tak mempan membuat...