HIRUK pikuk koridor utama menjadi hal pertama yang ditangkap Bintang sesaat setelah melangkahkan kaki keluar kelas. Padahal baru lima menit bel istirahat berdering, koridor telah dipenuhi para siswa seakan tak sabar menantikan saat-saat tersebut.
"Pusing gue belajar fisika. Apa faedahnya ngitungin kecepatan mobil coba? Kalo dua mobil tabrakan mah ditolongin kali, bukannya dihitung kecepatan, detik atau jaraknya."
Keisha menghela napas kasar sembari memegang kepala yang rasanya ingin meledak. Sepertinya Keisha harus mempertimbangkan jurusan desain komunikasi dan visual saat kuliah demi kesehatan diri maupun otaknya.
"Bayangin, dari dua puluh soal, cuma lima yang bisa gue kerjain. Sisanya? Apa lagi kalo bukan brainly," keluh Keisha kelewat jujur.
Bintang tertawa sebelum menggeleng-gelengkan kepala. "Temen gue emang keren banget dah."
"Bintang. Cassiopeia. Ruby!"
Seruan tersebut membuat tak hanya sang pemilik nama saja yang menoleh, namun juga hampir seisi koridor utama. Mendapati tatapan siap menerkam lengkap dengan langkah yang dipercepat dari salah satu sahabatnya, Bintang pun menautkan alis bingung.
"Ngapain teriak-teriak sih, Ra?" sungut Bintang.
Rara berhenti tepat di hadapan Bintang dengan tangan yang berkacak pinggang.
"Kok gak bilang-bilang gue?" semprot Rara.
Bintang mengernyit. "Bilang apa?"
"Lo sama Langit."
Bintang terdiam.
Mendengar dua nama tersebut, Keisha yang berdiri di samping Bintang pun maju satu langkah, seakan tertarik dengan topik pembicaraan tersebut.
"Bintang sama Langit kenapa?" tanya Keisha. Ia menatap kedua sahabatnya bergantian.
"Lo gak tahu, Kei?" tanya Rara.
"Tahu apa?"
Rara menggeleng tidak percaya. Ia beralih menatap Bintang lengkap dengan tatapan seakan menuntut penjelasan.
"Tanya langsung aja sama Bintang," tandas Rara.
Tatapan menuntut dari Rara serta tatapan bingung dari Keisha membuat Bintang ciut seketika.
Di saat-saat seperti ini, rasanya Bintang ingin menghilang saja. Pertanyaan kedua sahabatnya bahkan lebih menyeramkan dibanding pertanyaan senior-seniornya saat penyampaian visi-misi ketika akan dilantik sebagai badan pengurus harian OSIS.
Keisha menaikkan satu alis. "Bin?"
Bintang menatap keduanya sebelum menghela napas pasrah. "Gue jadian."
"HAH?" pekik Keisha terkejut.
Satu sudut bibir Rara terangkat. "Lo bakal lebih kaget pas tahu sama siapa Bintang jadian."
"Sama siapa?" tanya Keisha semakin penasaran. Namun belum sempat Bintang menjawab, ekspresi terkejut Keisha membuat suaranya tertahan. "Jangan bilang ..."
Rara mengangguk. "Langit."
Bintang semakin yakin untuk melancarkan aksi menghilang dari bumi tepat setelah satu nama tersebut terucap. Terlebih ketika ekspresi tak terdeskripsikan Keisha menyambutnya.
Sungguh, jika saat ini ada roket menuju bulan, Bintang akan dengan senang hati membayar berapa pun demi keselamatan urat malunya.
"Serius?" jerit Keisha tak percaya.
"Kaget kan lo?" seru Rara menggebu-gebu.
Dan yang terjadi selanjutnya adalah interaksi kedua sahabatnya yang pada intinya masih tak percaya dengan berita yang telah menyebar hingga seantero sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
EXILE
Teen Fiction#3 in teenfiction (21/06/19) Menghabiskan hampir lima belas tahun dengan perempuan yang sama lagi dan lagi? Bagi Altair Langit Alderado, melihat kehebohan Bintang bukan sesuatu yang mengejutkan. Memergoki kecerobohan Bintang pun tak mempan membuat...