Cause I don't wanna see you with her
I don't wanna see her face
Resting in your embrace
Her feet standing in my place• EXILE •
BEL pulang sekolah telah berbunyi sejak dua jam yang lalu namun Langit masih setia dengan bola basket di tangannya. Pantulan bola basket yang beradu dengan permukaan lapangan sekolah terdengar menggema. Suasana sekolah yang sepi dan hanya tersisa beberapa murid saja membuat apa pun suara yang ditimbulkan menjadi terdengar lebih keras.
"Lang, oper sini!" seruan Gian yang berada cukup jauh darinya membuat Langit menoleh.
Dari tempatnya berdiri, Langit dapat menangkap gerakan tangan Gian yang seakan mengisyaratkan untuk memberikan bola tersebut kepadanya.
Langit segera mengoper bola tersebut. Namun sepertinya, lemparan itu terlalu kencang hingga membuat bola tersebut terlempar jauh keluar lapangan.
"Yah, kejauhan lemparan lo, Bang," seru Rangga.
Langit pun berlari ke pinggir lapangan. Namun saat ia membungkuk dan akan mengambil, sebuah tangan juga tengah meraih bola tersebut membuat Langit menghentikan pergerakannya.
Langit memperhatikan seseorang yang kini berdiri dengan bola basket di tangannya. Entah kenapa, ia merasa familier dengan cewe di hadapannya. Baru ketika cewe itu mendongak, satu nama muncul di benaknya.
"Maaf, Kak. Aku cuma mau bantu ambil. Ini bolanya," ucap cewe itu sambil menyerahkan bola basket di tangannya.
Tidak merasakan tanda-tanda pergerakan Langit, lantas cewe itu memiringkan kepalanya. "Kak Langit?"
Langit mengerjap. "Oh iya. Thanks."
"Kalo gitu aku duluan ya, Kak," pamit cewe itu sebelum berlalu pergi.
Namun belum sempat melangkah, sesuatu menarik pergelangan tangannya membuat langkahnya tertahan.
"Tunggu," cegat Langit.
"Kenapa, Kak?"
"Nama lo Lentera, kan?"
Cewe itu mengangguk kaku. "Iya. Kenapa, Kak?"
Langit menggeleng. "Nanya aja."
"Oh," Lentera berdiri dengan canggung. "Udah kan, Kak? Kalo gitu, aku duluan ya."
"Eh iya, thanks bolanya," ucap Langit sembari mengangkat dan memainkan bola basket di tangannya.
"Iya, Kak. Sama-sama. Duluan," pamit Lentera lengkap dengan senyum sopan.
•••
Berusaha menjaga amanah yang telah ia sepakati—membuat Samudra senang dan jangan membuat dia sedih, marah apalagi kecewa—maka di sinilah Bintang berada. Duduk di kantin yang sudah sepi dengan Samudra di hadapannya.
"Sam, udah sore nih. Pulang yuk," ajak Bintang setelah melihat waktu telah menunjukkan pukul lima sore.
"Ya udah, yuk."
Dengan cepat, Samudra menghabiskan minumannya. Ia memakai jaket sebelum menyampirkan tasnya di satu bahu. Tipikal kebanyakan cowo.
Sesaat setelahnya, keduanya berjalan keluar dari kantin menuju parkiran sekolah.
Samudra melanjutkan ceritanya. "Terus ya, Mama kan marah-marah juga ke Papa. Katanya kalo Papa gak nabrak aku ...."
Bintang memelankan langkahnya ketika melihat dua orang yang terlihat sedang berbincang di pinggir lapangan. Meskipun seseorang itu berdiri memunggunginya, Bintang dapat dengan mudah mengenali perawakannya.
Tubuh tinggi, punggung tegap, ditambah bola basket yang berada di tangannya tentu membuat cewe itu yakin akan tebakannya.
Bintang tak dapat memastikan siapa cewe yang berada di hadapan Langit. Namun jika boleh berasumsi, entah mengapa ia sangat yakin bahwa cewe itu adalah Lentera.
Ngapain Langit sama Lentera? batin Bintang.
"Kesel gak sih kamu kalo jadi aku?"
Suara Samudra memecah lamunan Bintang. Cewe itu mengerjap sebelum memasang wajah kesalnya.
"Iya lah. Kamu yang sabar aja kesel apalagi aku yang gampang emosian," jawab Bintang dengan asal.
"Iya, kan? Apalagi pas tahu kucing itu makan ikan yang loncat dari penggorengan ...."
Pandangan Bintang kembali ke arah dua orang tersebut. Kontan, alisnya bertaut ketika melihat Langit meraih pergelangan tangan Lentera. Terlihat seperti menahan cewe itu untuk tidak pergi.
Mereka ada hubungan apa? batin Bintang curiga.
Setelah perbincangan singkat, Lentera pun beranjak pergi. Meninggalkan Langit sendiri dengan bola basket di tangannya.
"Terus minyaknya kena kakiku lagi. Kan ngeselin—" Samudra mengerutkan kening. "Bintang?"
Bintang terperanjat mendengar namanya dipanggil. "Iya, kenapa?"
"Kamu dengerin cerita aku gak sih?" tanya Samudra memasang wajah curiga.
"Hah? Denger kok. Minyaknya kena kaki kamu, kan?" jawab Bintang dengan percaya diri.
"Kenapa bisa kena kaki aku coba?"
"Karena ... kucingnya makan ikan yang loncat dari penggorengan?" tanya Bintang ragu-ragu.
Ia menggigit bibir seraya meringis. Dalam hati, merutuki jawaban bodoh yang ia ucapkan begitu saja. Kalo sudah begini, bisa-bisa ia diamuk Samudra.
Samudra melipat tangan di depan dada. "Tuh kan gak fokus. Kamu mikirin apa sih?"
"Maaf, Sam. Deadline pensi bikin pikiran aku kepecah," ucap Bintang asal.
Tidak mau memperpanjang masalah, Bintang pun segera menarik Samudra. "Ayo pulang, makin sore nih."
TBC
Itulah mengapa aku memberi judul Double Trouble untuk chapter ini.
Jangan lupa tekan vote dan comment sebanyak-banyaknya. Terima kasih sudah membaca. Ucapan penyemangat dari kalian sangat berarti bagi aku.
Sampai jumpa di chapter 23!
Sincerely,
G.
KAMU SEDANG MEMBACA
EXILE
Teen Fiction#3 in teenfiction (21/06/19) Menghabiskan hampir lima belas tahun dengan perempuan yang sama lagi dan lagi? Bagi Altair Langit Alderado, melihat kehebohan Bintang bukan sesuatu yang mengejutkan. Memergoki kecerobohan Bintang pun tak mempan membuat...