BINTANG mengusap wajahnya dengan kasar. Alisnya bertaut dengan kaki yang ia ketuk-ketukkan pada lantai rumah sakit. Rasa cemas dan khawatir itu berhasil menguasai kendali tubuhnya membuat otaknya serasa ingin pecah sekarang juga.
Langkah kaki yang mendekat membuat kepalanya terangkat. Tak jauh dari tempatnya, Bintang dapat melihat seorang wanita paruh baya yang tengah berlari ke arahnya.
"Bagaimana keadaan Samudra?" tanya Shinta tanpa berbasa-basi.
"Masih diperiksa dokter, Tan," jawab Bintang pelan. Ia menundukkan kepala. "Saya mohon maaf sebesar-besarnya, Tan. Jika Samudra tidak pergi menolong saya, mungkin dia akan baik-baik saja sekarang. Tidak akan ada kejadian masuk rumah sak-"
"Tidak perlu meminta maaf, Bintang. Memang sudah seharusnya kita menolong teman yang sedang kesusahan." Wanita itu tersenyum.
"Tetap saja saya merasa bersalah. Sekali lagi saya mohon maaf yang sebesar-besarnya, Tan." Bintang sedikit membungkukkan badan.
"Tidak apa-apa, Bintang. Seharusnya kamu mencemaskan diri kamu sendiri. Bagaimana keadaanmu? Apakah baik-baik saja? Berita penculikan itu cepat sekali tersebarnya hingga ke telinga para orangtua murid."
"Saya tidak apa-apa, Tan."
"Syukurlah. Siapapun itu yang berniat mencelakai kamu dan anak saya, tentu saja orang yang keji dan harus segera ditindak secara hukum."
Bintang menundukkan kepala. "Sekali lagi saya mohon maaf, Tan."
"Tidak perlu. Sekarang yang harus kita lakukan adalah berdoa untuk keselamatan Samudra." Senyum tipis menghiasi wajah yang telah menua itu.
Suara pintu yang terbuka mengejutkan keduanya. Dokter dan beberapa suster keluar dari ruang pemeriksaan. Spontan, Bintang dan Shinta berdiri.
"Bagaimana kondisi anak saya, Dok?" tanya Shinta dengan raut wajah khawatir.
"Ibu adalah ibu kandung dari Saudara Samudra?"
Wanita itu mengangguk. "Benar, saya ibu kandungnya."
"Kondisi Saudara Samudra tidak terlalu parah. Syukurlah benturan itu tidak mengenai bagian belakang kepalanya sehingga tidak menimbulkan kerusakan yang berarti. Sebaiknya Saudara Samudra dirawat minimal 24 jam untuk mendapatkan pemeriksaan intensif."
"Apa ada penyakit atau hal lain yang parah menimpa anak saya, Dok?"
"Untuk saat ini tidak ada. Namun saya akan kembali setiap empat jam sekali untuk kontrol rutin."
"Syukurlah. Apa sekarang saya boleh melihat anak saya?"
Sang dokter mengangguk. "Namun harap berhati-hati dan tidak menimbulkan suara yang berlebihan karena dapat mengganggu masa pemulihan pasien."
"Baiklah. Terima kasih, Dok."
Sang dokter mengangguk sopan sebelum pamit pergi. Shinta memberi jalan agar sang dokter dapat lewat. Sesaat setelahnya, ia mengalihkan pandangan ke arah Bintang.
"Kamu boleh pulang, Nak. Sudah jam sebelas malam. Meskipun besok hari Sabtu dan sekolah libur, remaja sepertimu tetap membutuhkan istirahat yang cukup."
"Tidak apa-apa, Tan. Saya bisa menjaga Samudra jika Tante mau. Anggap saja sebagai bentuk permintaan maaf saya," ucap Bintang masih dengan perasaan bersalahnya.
Wanita di hadapannya menggeleng seraya tersenyum.
"Justru Tante tidak mau kondisi kesehatanmu semakin buruk dengan membiarkanmu begadang semalaman menjaga Samudra. Penculikan itu tentu sangat berpengaruh terhadap kondisi fisik serta psikologismu. Kamu butuh istirahat yang cukup."
Bintang terdiam sejenak. Sungguh mulia sekali hati wanita di hadapannya ini. Setelah perdebatan singkat antara otak dan hatinya, Bintang akhirnya mengangguk patuh.
"Sekali lagi saya mohon maaf atas insiden yang menimpa Samudra, Tan. Saya sungguh-sungguh memohon maaf."
"Segala hal yang terjadi di dunia ini memang sudah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa. Jadi berhenti menyalahkan dirimu sendiri."
Bintang tersenyum mendengar penuturan wanita itu. "Baik, Tan. Saya mendoakan yang terbaik untuk Samudra. Besok saya akan datang untuk menjenguk."
Wanita itu mengangguk. "Di lobi utama masih ada supir pribadi saya. Kamu boleh menggunakan mobil saya untuk pulang ke rumah."
Bintang menggeleng dengan cepat. "Tidak perlu, Tan. Saya bisa pulang sendiri, kok."
"Pulang sendiri? Sekarang sudah hampir tengah malam. Pulang dengan supir saya untuk memastikan kamu sampai rumah dengan selamat. Saya akan menelepon supir saya terlebih dahulu."
Wanita itu baru akan mengeluarkan ponsel dari tasnya sebelum terhenti karena cegatan tangan Bintang.
"Saya takut merepotkan, Tan. Tidak perlu, kok. Mungkin saya bisa cari taksi atau meminta salah satu teman saya menjemput."
"Tidak-tidak. Itu tidak bisa memastikan kamu akan pulang dengan selamat. Biarkan supir saya mengantarmu."
Tatapan memohon itu menatap lurus ke arah bola mata Bintang. Seakan terbius, ia pun mengangguk patuh.
"Baik. Sekarang kamu turun saja ke bawah. Di lobi utama sudah ada supir saya yang menunggu. Saya akan menyebutkan ciri-cirimu agar kamu tak perlu repot-repot mencari."
Bintang mengangguk. "Terima kasih, Tan. Kalau begitu, saya pamit."
Wanita itu mengangguk. Bintang pun sedikit membungkukkan badan sebelum berlalu. Tak lupa disertai dengan senyum sopan.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
EXILE
Teen Fiction#3 in teenfiction (21/06/19) Menghabiskan hampir lima belas tahun dengan perempuan yang sama lagi dan lagi? Bagi Altair Langit Alderado, melihat kehebohan Bintang bukan sesuatu yang mengejutkan. Memergoki kecerobohan Bintang pun tak mempan membuat...