32 • Dark Past

11.7K 690 253
                                    

WAKTU telah menunjukkan pukul satu pagi, namun di sinilah Bintang berada, duduk di pinggir jendela kamarnya dengan Langit di seberangnya, juga duduk di pinggir jendela kamar cowo itu. Meskipun duduk dengan kaki melayang di atas pekarangan rumah yang berada cukup jauh di bawah keduanya, Langit maupun Bintang sama sekali tak merasa takut.

Hal seperti ini sering dilakukan jika salah satu atau malah keduanya terserang insomnia dadakan alias tidak bisa tidur.

"Lang," panggil Bintang.

Langit yang tengah memainkan ponselnya lantas mendongak. Ia menaikkan satu alis tanda bertanya.

"Gue sedih," ucap Bintang.

"Karena?"

"Bokap."

Mengetahui apa yang akan Bintang katakan selanjutnya, Langit pun meletakkan ponselnya di dalam kamar. Ia kembali menatap Bintang dan menaruh fokus sepenuhnya pada cewe itu.

"Lo gak tahu seberapa kacaunya gue saat itu. Seberapa hancurnya gue denger keputusan perceraian yang keluar dari mulut bokap gue."

"Orang lain gak akan ngerti sesakit apa rasanya pas tahu lo akan hidup sebagai seorang anak broken home, yang hidupnya seakan cuma punya satu orangtua."

Bintang menghela napas berat.

"Gue merasa gak punya harapan hidup lagi. Silakan bilang gue berlebihan. Tapi orangtua adalah dua orang terpenting di hidup gue. Dan ketika gue diharuskan untuk memilih hanya salah satunya, gue ...."

Bintang menggigit bibir, berusaha menahan air mata yang semakin mendesak keluar.

"Gak akan bisa, Lang. Rasanya pasti janggal. Kayak ada yang kurang."

Bintang terdiam sejenak. Dari jarak tiga meter, Langit masih dapat menangkap mata berkaca-kaca cewe di hadapannya.

Jika dirinya dan Bintang tidak dipisahkan oleh jarak yang tidak mungkin dilewati dengan mudah seperti ini, mungkin Langit sudah menarik Bintang ke pelukannya sembari menenangkan cewe itu.

Menyadari diamnya cewe di hadapannya, Langit pun mengerutkan kening.

"Bin?"

Langit menjentikkan jari.

"Bin, back to earth."

Langit melambaikan tangan. Namun sepertinya cara tersebut tetap tak berhasil menyadarkan Bintang kembali pada realita. Kalau sudah begini, Langit harus mengeluarkan cara terakhir.

Ia mengambil barang kecil apa pun yang dapat ia jangkau. Mendapati sebuah penghapus, Langit pun melempar benda tersebut ke arah Bintang.

"Bintang!"

Bintang mengerjap pelan. Setelah akhirnya sadar sepenuhnya, ia menautkan alis seraya berdecak kesal.

"Iseng banget sih!" seru Bintang kesal.

"Lagian dipanggil-panggil gak ada respons. Kan ngeri kalo tiba-tiba lo kesurupan."

Bintang meraih penghapus tersebut dan kembali melemparnya ke arah Langit. Beruntungnya, penghapus tersebut berhasil ditangkap oleh Langit.

"Makasih udah dibalikin," ucap Langit lengkap dengan senyum jahil.

Mendengar itu, Bintang pun mencebikkan bibir. "Dasar nyebelin."

Langit terkekeh pelan. Menjahili Bintang memang semenyenangkan itu. Bagaimana cewe itu berdecak, mencebikkan bibir hingga memprotes perbuatannya selalu menggemaskan bagi Langit.

"By the way, Lang."

Ucapan Bintang membuat senyum jahil Langit luntur seketika. Cowo itu menaikkan satu alis tanda bertanya.

EXILETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang