I knew I loved you then
But you'd never know
'Cause I played it cool when I was scared of letting go• EXILE •
DOA tak henti-hentinya Bintang rapalkan dalam hati, berharap Sang Maha Kuasa mendengar dan mengabulkannya. Dalam pelukan Abigail, Bintang menyaksikan dengan langsung bagaimana Langit berperang dengan rasa sakit yang Bintang yakini sungguh luar biasa.
Melihat defibrillator yang terus menerus menyerang merupakan pemandangan paling mengerikan yang pernah Bintang lihat. Tak pernah sekalipun dalam hidupnya ia mengira akan menyaksikan sesuatu semenyesakkan ini.
"360 Joule. All clear?" seru sang dokter.
Defribillator kembali dilepaskan menciptakan sentakan keras pada tubuh Langit. Bintang menggigit bibir cemas. Sungguh, jika hari ini adalah hari terakhir ia bertemu dengan cowok itu, Bintang tak dapat membayangkan akan seperti apa hidupnya nanti.
Lang, gue mohon. Tolong bertahan, batin Bintang.
Pemandangan yang sama terus menelusuk kedua bola matanya selama hampir sejam terakhir. Setelah pelepasan defibrillator untuk entah keberapa kalinya, mesin EKG kembali menunjukkan grafik naik-turun yang normal, bukan lagi dengan frekuensi yang cepat.
"Alhamdulillah," ucap sang dokter.
Para suster yang menyaksikan kejadian tersebut ikut menghela napas lega. Setelah pengecekan singkat, dokter pun mengisyaratkan suster untuk mematikan mesin defibrillator.
"Bagaimana, Dok?" tanya Abigail dengan nada bergetar. Matanya berkaca-kaca seakan penuh harapan.
Sang dokter menoleh. Peluh pada dahi menunjukkan bagaimana perjuangan mulianya dalam menyelamatkan apa yang menjadi tanggung jawabnya. Senyumnya turut mengembang.
"Alhamdulillah, doa ibu memang doa yang terbaik," tutur sang Dokter.
"Jadi anak saya ...."
"Alhamdulillah selamat."
Abigail membekap mulutnya, menahan tangis yang kian lama kian menderas. Bedanya, bukan tangis kesedihan yang keluar dari pelupuk matanya. Kali ini, kelegaan yang tak terdeskripsikan bagaimana luar biasanyalah yang menjadi alasannya.
Abigail memeluk Bintang dengan erat, menyalurkan rasa lega tersebut dalam pelukan hangat seseorang yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri. Bintang pun tak menolak. Ia menenggelamkan kepalanya pada bahu bergetar wanita itu. Turut merasakan kasih tak terbendung seorang ibu terhadap anaknya.
Bintang lega. Sungguh lega hingga senyumnya tak henti-hentinya mengembang.
•••
Mengingat kejadian tiga minggu yang lalu membuat Bintang merasa seperti Romeo ketika menemukan Juliet dalam keadaan tak bernyawa. Atau Rose yang menyaksikan langsung bagaimana Jack merelakan hidupnya dan tenggelam dalam lautan dingin bak es.
Atau mungkin, ketika Hazel Grace kehilangan sosok Augustus Waters dalam film The Fault in Our Stars.
Sepersekian detik ketika menyaksikan perjuangan bertahan hidup Langit, pikiran Bintang sempat menjalar ke arah yang tak baik. Tak dapat dipungkiri, akhir dari karya-karya luar biasa William Shakespeare, James Cameron dan John Green tersebut sempat menjajahi pikirannya sebelum ia tepis kuat-kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
EXILE
Teen Fiction#3 in teenfiction (21/06/19) Menghabiskan hampir lima belas tahun dengan perempuan yang sama lagi dan lagi? Bagi Altair Langit Alderado, melihat kehebohan Bintang bukan sesuatu yang mengejutkan. Memergoki kecerobohan Bintang pun tak mempan membuat...