#versibaru26mei2021
Jangan berjuang untuk orang yang tidak menghargai perjuanganmu.
Pagi ini Bintang kembali mengantarkan sang istri ke kampus. Melihat Namira yang tengah merapikan pakaiannya di depan cermin, Bintang melangkah mendekati istrinya dan memeluk Namira. Mendapat pelukan tiba-tiba, tubuh Namira menegang. Namun, hanya beberapa detik sebelum digantikan dengan senyum manis yang menghiasi bibirnya.
"Cantik banget istri aku," puji Bintang. Pipi Namira merona dengan pujian sang suami. Tatapan keduanya bertemu di depan cermin dengan senyum manis yang sama-sama bertengger di bibir masing-masing. Lengan Bintang yang memeluk pinggang Namira semakin erat, apalagi saat ibu jari Namira mengusap punggung tangannya yang bertengger di atas perutnya.
"Ada yang aku mau omongin ke kamu, Na." Kening Namira berkerut saat mendapati wajah serius Bintang. Lalu, dengan pasti di melepaskan pelukan Bintang. Berbalik menatap Bintang yang terlihat tampan dengan kemeja putih dan dasi yang terpasang rapi.
"Ada apa?"
Bintang menarik napas panjang, menatap dalam-dalam wajah wanita yang sudah menjadi istrinya. Dan, mungkin sebentar lagi akan mengandung darah dagingnya. Bintang pastikan hal itu tidak akan lama.
"Aku mau mulai sekarang kamu rubah panggilan kamu ke aku. Bisa, kan?" Bintang menanti jawaban sang istri. Namira terlihat berpikir sebelum akhirnya mengangguk.
"Aku panggil Kakak aja gimana?"
"Kenapa gak Mas aja? Kayaknya lebih bagus," tawar Bintang. Namira menggeleng, "Gak mau. Pokoknya aku mau manggil Kakak."
Bintang menghela napas, lupa bahwa istrinya ini tipe gadis manja yang tidak suka dipaksakan. "Oke. Kakak aja." Bintang akhirnya mengalah.
*****
Pagi ini Bintang kembali mengantarkan sang istri ke kampus. Hal yang akan menjadi rutinitas barunya setelah menikah. Saat sampai di kampus sang istri, pandangan Bintang tidak sengaja menangkap batang hidung Riko. Pria yang tempo hari membuat istrinya menangis. Tiba-tiba pandangan Bintang beralih pada sosok yang berdiri tidak jauh dari Riko. Itu Nindi. Sedikit menyesakkan dada saat wajah sendu lah yang dia dapatkan dari sang mantan. Bintang tersenyum miris. Kenapa mereka terlihat seperti barisan para mantan?
"Kak, samperin aja kalau memang itu bisa membuat perasaan Kakak menjadi lebih baik. Jangan ditahan Kak, aku tahu gimana rasanya." Bintang tidak terkejut sama sekali dengan ucapan Namira. Mereka sudah sepakat untuk selalu terbuka mengenai perasaan keduanya terutama tentang mantan mereka.
Sekali lagi Bintang tersenyum melihat sisi kedewasaan Namira, wanita yang sudah berhasil membuat separuh hatinya menghangat jika melihat senyumnya. Diusapnya pelan pucuk kepala Namira, "Mereka masa lalu kita, mereka bukan alasan kita untuk tak bisa maju dengan kenangan tentang mereka. Hanya butuh waktu untuk menggantikan setiap kenangan lama tentang mantan pacar dengan istri. Karena itu jangan pernah biarkan aku sedetikpun untuk memikirkannya."
Namira tidak tahu jika selain sebagai dokter Bintang juga merangkap sebagai pria puitis. Setiap kata yang meluncur dari bibirnya mampu membuat hati Namira melayang-layang. "Begitu juga denganku, Kak, jangan biarkan sedetikpun aku memikirkan Riko. Karena seharusnya hanya Bintang Adi Yaksa yang selalu ada dalam pikiran dan hati Namira."
Bintang memeluk erat tubuh mungil istrinya, berulang kali mengecup pucuk kepala Namira. Cinta memang belum hadir diantara mereka namun tak ada salahnya jika mereka mencoba saling terbuka dengan perasaan keduanya. Bagi mereka cinta akan dapat tumbuh seiring berjalannya waktu. Yang terpenting keduanya berusaha agar menumbuhkan rasa itu. Kenyamanan yang dirasakan keduanya saat ini sudah lebih dari cukup untuk terus bersama walau belum ada rasa cinta. Tanpa mereka sadari keromantisan ala pasangan suami istri itu ternyata menyakiti hati lainnya. Hati yang pernah berharap namun tidak terlaksana.
Seharusnya mereka tidak punya hak untuk marah, namun apalah daya. Jika keduanya pernah merasakan cinta dari kedua orang itu. Pernah menjalani pahit manisnya cinta yang mereka bina. Walau pada akhirnya harus sad ending bukan happy ending seperti harapan mereka selama ini.
Nindi menahan air matanya yang sudah menumpuk siap tumpah kapan saja. Satu kedipan saja hancur sudah pertahanannya. Dengan menggenggam erat tasnya, Nindi pergi meninggalkan tempat itu. Menahan ribuan rasa sakit yang menguliti hatinya hingga perih tak terkira.
"""
"Menurut Papa, gimana?" Pria paruh baya itu hanya menarik napas pasrah melihat tingkah istrinya. Sejak tadi istrinya terus membahas tentang cucu. Apakah cucu mereka yang pertama laki-laki atau perempuan? "Ma, biarkan saja mereka hidup dengan cara mereka sendiri. Jangan terlalu memaksa mereka untuk segera memberikan kita cucu."
"Tetap aja, Pa. Mama gak mau kalau sampai si Riko itu mengganggu kehidupan anak kita lagi, Pa."
"Mama gak usah khawatir tentang itu, Papa gak akan biarin anak pria brengsek itu mendekati putri kita." Dia memeluk istrinya menenangkan setiap rasa takut yang selalu datang. "Mama takut, Pa."
"Sttt.... Gak usah dipikirin, Ma. Itu cuman mimpi."
"Bagaimana jika mimpi itu jadi kenyataan, Pa? Bagaimana?"
"Gak akan, Ma, Papa janji," kata Hermawan. Pelukannya pada sang istri mengerat, berusaha memberikan ketenangan agar menghilangkan semua ketakutan tak mendasar yang beberapa hari ini menggangu pikiran istrinya.
Yuda yang diam-diam mendengarkan pembicaraan orang tuanya ikut merasa gelisah dan khawatir pada adiknya. Meskipun Namira sudah menikah, tetapi, bagi Yuda, Namira masih tetap adik kecil yang sangat dia sayangi dengan sepenuh hati. Tak bisa dipungkiri separuh hatinya tidak tenang jika dirinya belum memastikan mimpi seperti apa yang dialami ibunya hingga sangat ketakutan jika Namira bertemu dengan mantan pacarnya.
""""
"Nin."
"Hm."
"Gimana keadaan Tante Aini?" tanya Rara.
"Seperti itu, Ra. Masih sedih," jawab Nindi, kesedihan di wajahnya semakin membuat Rara merasa kasihan. Rara mungkin tidak tahu seberapa sakit luka yang dirasakan Nindi saat ini, tetapi, dia berusaha untuk selalu membantu sahabatnya agar dapat bangkit kembali.
"Kalau kamu butuh apa pun, bilang aja. Aku selalu ada buat kamu."
Nindi terenyuh dengan sikap Rara, di saat dia kehilangan penopangnya, Bintang. Dia tidak sendiri. Masih ada Rara dan ibunya yang selalu ada untuknya dalam keadaan apa pun.
"Makasih, Ra."
"Gak usah makasih, Nin. Itu sudah menjadi tugasku sebagai sahabat kamu."
Yogyakarta, 31-Desember-2018
*(((bersambung)))*
Maafkan typo yang terselip dimana2.
KAMU SEDANG MEMBACA
KARMA [TAMAT]
RomanceDI UNPUBLISH SEBAGIAN PART. CERITA INI SEDANG DIREVISI SECARA BERTAHAP. MOHON MAAF UNTUK TYPONYA. HARAP BERSABAR. EYD acak adul, amburadul. Harap paham hehehee. MOHON BERSABAR DALAM MEMBACANYA, KARENA CERITA ADALAH SALAH SATU YANG TYPONYA MINTA...