KARMA 3

6.4K 242 5
                                    




#versibaru25mei2021





Langit malam yang penuh bintang tidak lantas membuat malam ini indah seperti langit di atas sana. Kedua orang yang kini dipertemukan untuk memikirkan dan merancang masa depan saling diam. Bukan tidak punya topik untuk dibicarakan, hanya saja sebanyak apa pun kata-kata yang mereka ucapkan tidak akan mempan kepada kedua orang tua mereka. Terutama kedua ayah mereka. Baik Bintang maupun Namira tidak memiliki cukup keberanian untuk menolak permintaan atau lebih tepatnya mereka dipaksa untuk patuh.

Sekarang, apalagi yang harus disesalkan? Tidak ada. Yang bisa dilakukan Bintang dan Namira adalah menerima takdir mereka. Menikah dengan orang yang sama sekali tidak mereka cinta. Akan tetapi, doa dan harapan kedua orang tua mereka selalu menyertai keduanya. Bukankah itu lebih dari cukup untuk merasakan kebahagian?

"Aku memang bukan Riko yang kamu cintai dengan sepenuh hatimu. Aku juga bukan Riko yang kamu harapkan untuk menjadi imammu. Tapi, aku berharap kamu bisa menerimaku seperti aku menerima kamu, Namira. Untuk saat ini, yang bisa kita lakukan adalah saling menyembuhkan luka kita. Luka karena tidak bisa bersama dengan orang yang kita cintai."

Akhirnya, Bintang mengatakannya. Mengatakan apa yang harus dia dan Namira lakukan untuk memulai hidup baru mereka sebagai sepasang suami dan istri. Di sini, bukan hanya Namira saja yang terluka, dia juga. Dia juga sakit. Dia juga terpaksa, dipaksa dan harus terbiasa untuk menjalani semua ini.

Bintang memang tidak mencintai Namira, begitu pun sebaliknya. Keduanya telah memiliki seseorang di hati mereka. Namun, Bintang harus bisa menjalankan tanggung jawabnya sebagai suami bagi Namira. Meskipun pernikahan ini atas dasar perjodohan. Tapi baginya, sejak dia menjabat tangan ayah Namira, maka sejak itu semua tanggung jawab Namira telah beralih padanya. Suka tidak suka mau tidak mau dia harus bisa mengesampingkan ego dan perasaannya sendiri. Sakit, dadanya terasa sesak ketika mengingat bagaimana Nindi meneteskan air mata ketika hadir di pernikahannya. Duduk di barisan tamu undangan dengan balutan gaun putih pemberian Bintang ketika hari ulang tahunnya.

Bintang ingin mengatakan ini tidak adil. Sangat tidak adil. Bagaimana bisa ada orang sekejam papa dan ayah mertuanya yang dengan bahagianya tertawa bersama rekan-rekan bisnisnya, dan dengan bangga memamerkan pernikahan anak-anak mereka. Tanpa tahu jika kedua anak mereka sudah seperti ditusuk ribuan belati berkarat, sudah setengah mati menjalani peran sebagai anak-anak yang berbakti kepada kedua orang tua mereka. Rasanya sangat menyakitkan, meskipun itu adalah kewajiban mereka sebagai seorang anak kepada orang tuanya. Namun, tetap tersenyum, dengan hati yang tercabik-cabik. Air mata mereka seolah tidak ada artinya sama sekali.

Bintang menarik tubuh Namira dalam pelukannya, lalu berkata, "Mungkin kita ditakdirkan bersama dengan cara menyakiti orang-orang yang kita sayangi, bahkan menyakiti diri kita sendiri. Maka dari itu, cobalah untuk menerima semuanya." Namira semakin terisak kuat dalam pelukan Bintang.

"Ini semua memang gak mudah, aku mencintai Nindi dan kamu pun mencintai Riko," jeda sejenak Bintang menghela napasnya, "takdir memang kejam, membuat kita seperti layang-layang yang harus berjuang melawan arah angin agar tetap bisa terbang tinggi."

Malam pertama dihabiskan Bintang dan Namira saling menangisi betapa mirisnya kisah cinta mereka, tidak bisa bersama dengan orang yang mereka cintai. Sampai-sampai keduanya tertidur tanpa mengganti pakaian mereka. Rupanya, menangisi kenyataan yang menyakitkan itu juga melelahkan.

Seharusnya, saat ini semua tidak seperti ini. Kadang harapan terlalu tinggi itu dapat menyakitimu tanpa kamu sadari, membuatmu terbang tinggi lalu menjatuhkan dirimu hingga membuatmu lupa di mana kamu berpijak.

Bintang lebih dulu terbangun dari tidurnya, senyumnya terbit dengan sendiri begitu melihat Namira tertidur lelap dengan berbantalkan lengannya. Terlihat jelas sisa-sisa air mata yang menyebabkan kedua matanya membengkak. Bintang secara spontan mengusap lembut pipi gadis yang sudah berubah status menjadi istrinya.

"Tolong jaga Namira! Bahagiakan dia, cintai dia dan jangan buat dia menderita."

Bintang masih mengingat dengan jelas bagaimana Riko memintanya untuk berjanji menjaga Namira.

"Jangan jadi pengecut sepertiku, yang tidak bisa memperjuangkan Namira."

"Maaf, harus membuatmu terjebak dalam pernikahan ini. Aku janji tidak akan membiarkanmu menangis lagi, Namira." Bintang kembali memejamkan matanya di sebelah Namira, melupakan jam yang sudah menunjukan pukul sembilan pagi. Biarlah hari ini mereka terbebas dari segala peraturan konyol kedua keluarga mereka. Bukankah mereka sekarang berhak menentukan jalan hidup mereka. Bintang harus bisa mengendalikan hidupnya untuknya kali ini, dia tidak ingin diatur-atur dengan semua peraturan kolot keluarganya ataupun keluarga Namira.


""""""


Riko duduk di teras rumahnya, hari ini dia memilih untuk tidak masuk kuliah. Pikirannya berkecamuk dan tak tentu arah. Dia berusaha menerima bahwa dia dan Namira tidak bisa untuk bersama. Kedatangannya di hari pernikahan Namira, memicu luka di hatinya untuk semakin menganga lebar. Ingatannya kembali disaat-saat dia mendapat giliran untuk memberikan selamat kepada Namira dan Bintang.

Riko berdiri di depan Namira dengan setelan kemeja batiknya membuat Riko terlihat lebih dewasa dan tampan saat ini. Memang benar kata orang, mantan akan terlihat lebih tampan saat sudah putus.

Dia berusaha menahan mati-matian tangannya agar tak menyentuh wajah Namira, hatinya berteriak agar Namira tidak terus menerus meneteskan air mata.

"Namira," Riko memperlihatkan senyum terbaiknya. Senyum yang hanya milik seorang Namira. "Selamat ya, semoga jadi keluarga yang sakina, mawadah dan warohmah," sekali lagi Rio kembali tersenyum, "jangan nangis, Na. Kamu tahu, aku seperti melihat bidadari, kamu cantik banget, Na—" Saat itu juga Riko menegang ditempat, Namira memeluknya dengan erat tidak peduli dengan antrian panjang tamu yang berusaha memberi selamat padanya dan Bintang.

Namira menangis sejadi-jadinya, bahkan sekencang-kencangnya. Dia menumpahkan semua rasa yang dia rasakan saat ini. Semua tak lagi sama, dia bukan Namira kekasih Riko.

Riko terus memaksakan untuk tersenyum meski air matanya perlahan-lahan mulai menetes. "Aku sayang sama kamu, Na. Baik-baik ya sama suami kamu. Jadi istri yang penurut dan jadi Ibu yang baik untuk calon anak-anakmu. Aku selalu berdoa yang terbaik buat kamu, Na."

Riko melepas pelukannya, dia menghapus air mata Namira dengan ibu jarinya. "Sekali lagi, selamat atas pernikahan kamu, Namira."

Satu tetes air matanya lolos dan meruntuhkan pertahanannya lagi. Sekuat apa pun dia menyimpan lukanya tetap saja selalu ada celah untuk timbul ke permukaan. Dia ingin melupakan peristiwa menyakitkan yang baru saja memporak-porandakan hati dan tubuhnya.

Riko tahu, dirinya tak mungkin bisa menghentikan pernikahan Namira meski sekeras apa pun dia dan Namira mencoba untuk melakukannya.

"Namira, kamu seperti bintang di langit. Sampai kapanpun tidak akan pernah bisa untuk kugapai,"lirih Riko. Saat-saat seperti ini adalah waktu yang tepat untuk mengeluarkan segala beban dan deritanya yang dia rasakan saat ini. Menangis sendirian, dan meluapkan semuanya tanpa harus ada yang tahu seberapa keras dia mencoba untuk tegar.





















***(((bersambung)))***

Jangan lupa tinggalkan jejak ;)




KARMA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang