KARMA 12

2.5K 118 4
                                    


#versibaru26mei2021




Selalu ada obat untuk setiap luka dan selalu ada penawar untuk setiap rasa sakit.




Beberapa bulan kemudian.


"Argkkkk.... Bangsat!" teriak Riko. Di tengah-tengah hujan yang deras, Riko meluapkan semua emosinya selama beberapa bulan berusaha merelakan Namira pergi dari hidupnya. Tidak ada yang lebih baik. Yang ada justru semakin memburuk. Dia tidak bisa melupakan Namira, wanita itu mungkin pergi dari hidup Riko tapi tidak dengan hati Riko. Karena hati Riko selalu ada Namira. 

"Kenapa? Kenapa harus aku yang menanggung semua rasa sakit ini?"

"Ko." Riko menutup matanya sesaat, bahkan disaat seperti ini dia masih bisa mendengarkan suara Namira. Sepertinya Riko sudah mencapai tahap gila. Sejak melihat Namira menangis dalam pelukan Bintang, Riko benar-benar down. Dulu pundaknya lah yang selalu menjadi tempat sandaran Namira dikala sedih dan bahagia, tapi sekarang bukan hanya pundaknya saja yang tak dibutuhkan lagi oleh Namira. Namun seluruh yang ada dalam dirinya dan hidupnya tidak dibutuhkan Namira. Sangat menyedihkan.

"Riko." Suara itu semakin nyata.

"Ternyata emang benar, kalau hujan bisa membangkitkan kenangan kita bersama mantan." Tawa lirih meluncur perlahan dari bibir pucatnya. Hujan sialan.

"Riko Lasgar Kusuma." Riko berbalik cepat. Kedua matanya melebar saat melihat Namira berdiri tak jauh darinya. Jaket kebesaran di badan langsing Namira sudah basah kuyup.

 "Ini nyata?" tanyanya pada dirinya sendiri.

"Ini nyata, Ko. Aku mohon. Jangan siksa diri kamu dengan terus mengingat mantan sepertiku. Jangan bikin hati aku sakit dan sedih melihat kamu yang rapuh dan hancur." Namira berjalan mendekat hingga berjarak beberapa langkah dari Riko, "Kita memang udah gak kayak dulu lagi, tapi kita bisa jadi teman. Aku mohon. Lupakan aku. Hapus aku dari hati kamu. Sama seperti aku yang berusaha menghapusmu dari hati aku." Namira berdiri dengan bahu bergetar hebat. Entah menahan tangis atau kedinginan karena hujan yang terus membasahi tubuhnya.

"Aku juga maunya gitu, Na. Tapi hati aku gak bisa diajak bekerjasama. Dia egois. Padahal dia numpang di badan aku, tapi dia selalu berbuat semaunya. Aku seperti sapi yang ditusuk hidungnya. Di perlakukan seperti apa pun aku pasrah. Termaksud untuk tidak melupakanmu, Namira."  Lidah Riko tak kalah sadis dalam berbicara, luka di hatinya sudah membuat Riko pandai berdialektika.

"Seandainya ada pabrik yang bisa memproduksi hati. Aku orang pertama yang bakalan order, buat ganti hati aku dengan yang baru. Agar semua kenangan tentang kita, terutama tentang kamu bisa hilang tanpa bekas sedikitpun. Tapi sayangnya gak bisa dan itu mustahil untuk terjadi, Namira."

Peduli amat dengan Bintang yang akan memarahinya. Namira segera menjatuhkan tubuhnya dalam pelukan Riko. Dia hanya ingin memeluk Riko untuk yang terakhir kali, karena sesudah ini dia tidak bisa melakukan hal itu lagi.

"Ingat! Ungkapkan apa yang ingin kamu katakan pada Riko. Luapkan semuanya, begitu pun dengan aku. Hanya kesempatan kali ini, gunakan sebaik-baiknya untuk yang terakhir kalinya. Walau bagaimanapun mereka adalah mantan kita, orang yang pernah menjadi harapan kita untuk bersama di masa depan. Orang yang pernah kita habiskan separuh waktunya bersama kita. Mereka masa lalu kita." Namira menyimak dengan baik penjelasan Bintang. Ini kesepakatan keduanya, mereka harus menyelesaikan permasalahan mereka berdua dengan mantan mereka. Jika ada yang ingin dikatakan maka katakanlah. Jika ingin memeluk maka peluklah. Karena sesudah itu Bintang dan Namira harus benar-benar memulai hidup mereka dengan membangun rumah tangga mereka dengan sepenuh hati. Ini semua demi kehadiran sosok baru dalam hidup mereka berdua. Bintang akan menyelesaikan masalahnya dengan Nindi. Begitu juga Namira menyelesaikan masalahnya dengan Riko.

"Ingat! Kalau ada apa-apa kabari aku. Aku gak mau kamu sama dia kenapa-napa. Jangan memaksakan diri kalau emang gak bisa. Oke." Namira mengangguk dalam pelukkan suaminya. Dia tahu kekhawatiran Bintang sangat mendasar. Dia juga akan menjaga dirinya dan dia dengan dengan baik. Menjaga dia dengan sepenuh hatinya. Hatinya menghangat saat telapak tangan Bintang mengusap perutnya yang datar, yang sebentar lagi akan membuncit karena sudah terisi buah cintanya dan Bintang.


****


"Aku tahu, Bintang. Pada akhirnya kamu bakalan datang ke aku. Kamu berubah pikiran, kan? Mau jadikan aku yang kedua, iya, kan?" Bintang bisa melihat binar kecerian di wajah Nindi. Namun Bintang harus bisa menegaskan semua pemikiran Nindi itu hanya akan ada dalam mimpi dan angan-angan perempuan itu saja. Tidak akan pernah jadi nyata.

"Maaf, tapi kamu harus tahu. Aku datang kesini bukan untuk menjadikanmu yang kedua." Bintang menegakkan tubuhnya di sandaran bangku restoran tempat dia dan Nindi pertama bertemu.

"Oh, aku tahu. Kamu pasti mau menjadikan aku yang pertama. Kamu mau menceraikan Namira dan menikahi aku." Nindi sangat bersama semangat 45 membuat pernyataan sepihak tanpa mendengar penjelasan lanjutan Bintang.

"Maaf Nin, tapi aku tidak bisa. Namira hamil anakku. Tidak, itu buah cinta kami," batin Bintang.

"Bukan. Kamu gak akan jadi yang pertama atau yang kedua atau yang terakhir. Aku hanya ingin bilang, lupakan aku. Hapus semua kenangan kita. Jika tidak bisa, maka simpan lah semua itu didasar hati kamu. Cobalah untuk memulai lembaran baru bersama orang lain. Jangan terus terpaku padaku, aku sudah jadi milik orang lain. Aku masa lalu kamu, dan gak akan menjadi masa depan kamu. Dan jangan pernah berharap untuk aku bisa menjadi masa depan kamu. Sekalipun itu hanya didalam mimpimu."

Bagai disambar petir. Rasanya carut-marut campur aduk. Nindi pikir dia butuh aqua karena kurang fokus. Atau dia sedang salah mendengar setiap kata-kata beracun milik Bintang. Senyum bahagia dengan cepat lenyap ditelan wajah datar perempuan cantik itu, habis sudah kalimat indah yang dirangkai sebelum bertemu Bintang.

"Aku juga punya hak untuk nentuin mau hidup bersama siapa? Mau mencintai siapa? Mau itu suami orang atau duda beranak dua, mau itu kakek-kakek yang udah mau mampus. Itu hak aku." Habis sudah kesabarannya. 

"Iya aku tahu, itu hak kamu. Tapi kamu perlu tahu, kalau itu akan menyiksa kamu. Karena mencintai seseorang yang sudah jelas tak bisa membalas perasaan kamu. Aku peduli sama kamu Nin, aku juga mau kamu bahagia. Tapi bukan bersama aku." Bintang bangkit dari duduknya, "Cobalah pelan-pelan, aku percaya kamu pasti bisa."

Dia mengusap pelan rambut Nindi. Memandang sesaat bola mata yang sudah menumpahkan butiran bening itu.

"Jangan nangis, Nin. Selalu ada obat untuk setiap luka dan selalu ada penawar untuk setiap rasa sakit." Pelukan dari Bintang mematahkan pertahan Nindi. Hancur dan lebur hingga tak tersisa lagi hatinya. Sudah tinggal sekeping dan sekarang malah jadi berkeping-keping.

"Aku cuman mau kamu, apa permintaan aku terlalu mustahil?" lirihnya dalam hati.



*((((bersambung)))**

Maafkan tulisan ku kalau masih bayak kekurangannya. Jika kalian bersedia, tolong kasih komen dan votenya..

Typo semoga ga bikin sakit mata..



KARMA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang