Bintang mengenggam jemari Namira, Istrinya itu sedang terlelap dalam tidurnya. Pengaruh obat membuat dirinya melupakan sejenak rasa sakit yang hampir merenggut nyawa buah hati mereka. Bintang mengelus sayang perut Namira, dia hampir mati jantungan ketika melihat istrinya berada di atas bankar dan kedua kakinya sudah berlumuran darah.Pikiran buruk sudah berkeliaran di hatinya, membayangkan akan kehilangan salah satu dari keduanya atau bahkan dua-duanya. Berungtunglah, takdir masih berpihak padanya.
Decitan pintu dibuka membuat pria itu memejamkan matanya sejenak.
Yuda melangkah pelan dan berdiri di samping yang berlawanan dengan Bintang. Memandangi wajah pulas adik kesayangannya.
"Maaf."
Bintang tahu maksud kalimat itu.
"Ini semua gara-gara gue."
Bintang menghela napas pelan, "bukan salah, lo. Dan ga perlu minta maaf."
"Harusnya lo marah sama gue, pukul gue, tampar kalo perlu. Biar gue tahu gimana rasanya berada di posisi lo. Gue pikir, gue bisa jadi kaka yang baik. Ternyata gue salah."
Sejenak kedua pria itu tenggelam dalam keheningan. Semua keluarga mereka sudah pulang. Dan menyisakan Yuda dan Bintang.
"Apa dengan marah ke lo bisa bikin semua baik-baik aja? Apa dengan gue mukul lo bakalan bisa balikin keadaan? Apa gue harus kaya gitu?"
Kali ini Yuda bungkam. Biasanya pria itu akan selalu merasa dirinya lah yang paling benar dan berhak marah jika adiknya terluka meski hanya sedikit.
"Maaf."
"Gue ga bisa mukul lo. Sekalipun gue ingin, gue cuman ga mau buat keadaan semakin kacau. Kekerasan ga harus jadi nama belakang penyelesain masalah."
Yuda tersenyum kecil, Bintang memang menghormatinya sebagai kakak iparnya. Namun dia tahu alasan kenapa Bintang tak pernah membalas setiap perlakuannya meskipun hanya sebatas ucapan pedas. Bintang menyayangi Namira dan Bintang juga harus bisa menyayangi setiap orang yang disayangi oleh Namira.
"Thanks." Setelah mengatakan hal itu Yuda berjalan menuju pintu.
"Mau kemana, bukannya lo udah ngomong mau nginap di sini?"
Yuda berbalik, tatapan pria itu datar dan tajam. "Menyelesaikan masalah." Dua kata itu sudah cukup membuat Bintang merasa ngeri.
Bintang berdiri dari kursi, "dia cewe, lo ga..."
"Biarin gue selesaikan dengan cara gue sendiri!"
Pintu tertutup pelan dan menyisakan Bintang yang masih berdiri dengan wajah tegang. Yuda memang tidak pernah main-main dengan perkataannya. Siapa pun yang berani menyakiti keluarganya maka balasan pria itu lebih dari cukup untuk membuat pelaku itu bungkam.
Riko melangkah pelan setelah memastikan Yuda sudah hilang dari ruang inap Namira. Pria itu hanya berdiri di depan pintu antara ingin masuk dan takut menggangu Namira dan Bintang. Hatinya meradang pilu menginginkan untuk bisa melihat wajah wanita yang sampai saat ini masih menghuni hatinya.
Tubuhnya berdiri kaku di depan pintu kamar Namira. Tak ada niatan untuk mengetuk pintu kamar itu.
Sampai beberapa menit berlalu pun dia masih tetap pada posisi sama.
"Masuk aja, mas Bintang ga akan ngelarang mas untuk menjenguk mba Namira."
Riko reflek menoleh ke samping. Berdiri sosok pria yang hampir memiliki wajah menyerupai Bintang hanya bedanya pria itu sedikit lebih sipit matanya.
"Kamu siapa?" Riko mengumpat pelan saat pertanyaan itu keluar dari mulutnya.
"Ari. Adiknya mas Bintang." Pria itu masih tersenyum ramah.
Hanya oh yang di dapat Ari dari pria yang dia ketahui sebagai mantan pacar kakak iparnya.
"Riko. Saya.. Um.. Temannya Namira."
Ari hampir tertawa melihat tingkah Riko yang nampak gagap saat memperkenalkan dirinya.
"Ari udah tahu, mas. Mas Bintang sering cerita tentang mas."
Ada banyak pertanyaan berkeliaran bebas dipikirannya saat mengetahui Bintang sering menceritakan dirinya pada adiknya.
Di kantin rumah sakit Ari dan Riko duduk sambil menikmati kopi untuk mengusir kantuk mereka.
"Memangnya apa saja yang sering diceritakan Bintang tentang saya?"
Pertanyaan itu dirasa Ari seperti sebuah intrograsi untuknya.
"Banyak mas. Yang jelas, mas Bintang salut sama mas. Ga semua orang bisa merelakan orang yang dia cintai untuk orang lain. Dan mas Bintang berharap silaturrahmi antara mas dan mba Namira bisa terus dijaga."
Riko terdiam sesaat, dia mencoba memahami arti kata yang mengalir bebas dari Ari. Dia yakin usia mereka tidak beda jauh tapi kenapa pembawaan sikap dan tutut bahasanya begitu menyenangkan ketika masuk dalam pendengaran Riko. Membuatnya yakin jika pria ini memiliki sikap tidak beda jauh dengan kakanya, Bintang. Yang sama-sama bisa menerima Riko sebagai sahabat.
"Jangan panggil mas. Saya ga se tua kaka kamu."
Ari tertawa lepas mendengar gerutuan Riko. Pria itu menolak dipanggil mas, menurutnya itu terlalu tua untuk ukurannya.
"Mas Bintang juga belum tua."
"Tapi bentar lagi dia bakalan jadi ayah. Dan itu tandannya udah tua. Kan udah mau jadi orang tua."
Ari benar-benar tertawa hingga beberapa pengunjung kantin melihat heran pada mereka. Mungkin dalam pikiran mereka, baru ditemukan keluarga pasien tertawa lepas seperti itu.
"Jadi, Ari harus manggil apa?"
"Riko. Jangan ditambahin embel-embel apa pun."
Ari mengangguk paham. "Oke."
**((((tbc)))***
Yogyakarta, 17 Maret 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
KARMA [TAMAT]
RomanceDI UNPUBLISH SEBAGIAN PART. CERITA INI SEDANG DIREVISI SECARA BERTAHAP. MOHON MAAF UNTUK TYPONYA. HARAP BERSABAR. EYD acak adul, amburadul. Harap paham hehehee. MOHON BERSABAR DALAM MEMBACANYA, KARENA CERITA ADALAH SALAH SATU YANG TYPONYA MINTA...