Dunia ini begitu sempit. Seperti kata pepatah lama, 'Dunia tak selebar daun kelor' sekarang, Riko mengakui hal itu. Dan juga dia mengalami langsung makna tersirat dari pepatah itu.
Kenapa? Kenapa semua ini menimpanya? Bukan orang lain. Seakan kebahagian memang bukan temannya. Ayah kandungnya, Zaga. Pernah jatuh hati dan mencintai ibu Namira. Dan sekarang, Riko pun mengalami hal yang sama. Benang merah yang menghubungkan mereka sudah kusut dan saling melingkar hingga sulit menemukan ujungnya.
Masih terngian di telingnya, setiap kalimat yang terlontar dari bibir bergetar sang ibu. Riko ingin amnesia saja jika mengigat hal itu. Takdir benar-benar kejam padanya.
"Kenapa, kenapa kamu membuat Riko merasakan hal yang sama?" Rahma memandangi bingkai foto Zaga. Air mata masih setia menemaninya.
"Aku pikir, semua sudah berakhir. Cukup kamu saja yang pernah menderita karna mencintai orang yang tidak mencintaimu. Tapi kenapa, kenapa harus menurunkan gen ketidakberungtungan itu pada anak kita, kenapa?" Tangisnya perlahan memecah. Sakit hati dan kecewa menyelimuti hati ibu beranak satu itu. Dia sedih, kisah cinta Zaga ternyata menurun pada Riko. Karma. Mungkin itulah yang pantas untuk menyebut semua ini. Karma tidak hanya selalu yang buruk. Dia juga kadang baik. Tanpa dia sadari, sepasang mata mengamatinya dengan perasaan sama hancurnya.
Memejamkan matanya, Riko ingin ingatan sepintas itu menghilang dari otaknya. Kenapa dia tidak menderita alzhemeir saja. Agar sedikit demi sedikit ingatan itu perlahan menghilang dengan sendirinya.
"Tuhan, kenapa cuman gue yang terluka? Kenapa?" Riko berteriak. Pria itu sengaja pergi jauh ke pantai hanya untuk meleyapkan kekesalan dan kekecewaan atas nasib yang tidak pernah berpihak baik padanya.
"Gue capek. Gue juga pengen kaya Namira. Bisa menemukan kebahagian dengan orang lain. Bisa tertawa tanpa harus merasakan sakit terlebih dahulu. Gue pengen. Pengen bisa berjalan lurus tanpa harus memikul luka di masa lalu. Kenapa? Kenapa cuman gue yang ga pernah bahagia? Kenapa, Tuhan? Kenapa?" Kedua lulutnya menabrak pasir pantai. Menjatuhkan tubuhnya agar dibasahi air laut.
"Aaarggg...!!" Riko berteriak sekuat yang dia mampu. Menyesali fakta baru yang baru dia ketahui. Ternyata, ayahnya, Zaga, pria itu pernah menyimpan rasa pada ibu Namira. Namun sayangnya, nasib tak berpihak padanya. Wanita itu justru mencintai pria lain. Rumit. Semua terlalu rumit untuk dimengerti Riko.
"Apa dengan teriak-teriak kaya orang gila, semua masalah akan selesai?" Suara halus dari sampingnya membuat Riko lantas berbalik.
"Rara.." Senyum manis dan wajah ayu perempuan bernama Rara itu memang bukan orang asing lagi bagi Riko. Dia mengenalinya. Rara adalah sahabat Nindi. Dan sekarang wanita itu juga menjadi sahabat Namira.
"Aku pikir kamu sudah lupa namaku," kata Rara sedikit bercanda. "Jangan mengeluh dengan keadaan, kamu bertindak dan berpikir seolah kamulah manusia paling tersiksa di dunia. Kamu seperti katak dalam tempurung. Tidak mampu melihat dan mendengar hal-hal yang lainnya. Kamu menyimpulkan semuanya sesuai dengan keinginan mu. Bukankah itu tidak adil?" Riko berdiri. Pria itu mengalihkan pandangannya kembali pada laut lepas di depannya.
"Kamu datang ke sini, untuk menasehatiku. Terima kasih. Aku terharu. Tapi sebaiknya kamu pergi.."
Rara tetap berdiri di samping Riko. Tidak menggubris perkataan kasar pria itu. "Aku sering ke pantai kalau lagi banyak masalah. Aku suka memandang laut lepas. Suka melihat ombak saling berkejar-kejaran untuk sampai lebih cepat di bibir pantai. Tapi sayang, aku benci air laut karna sangat asin di lidah.." Sekilas ekspresi Rara terlihat lucu saat mengatakan air laut itu asin.
"Dasar bodoh, air laut memang asing. Sejak dulu.." Riko memutar malas bola matanya. Perempuan ini sangat aneh. Mengatakan hal yang sudah jelas kebenarannya.
"Seharusnya kamu juga tahu itu.." Alis Riko mengernyit, Rara menatap lurus padanya. "Apa liat-liat?" tanyanya ketus.
"Kehidupan manusia tidak seperti air laut, hanya ada rasa asin. Sementara rasa dalam hidup manusia lebih dari satu, bukan hanya asin. Tapi kadang pahit, pedas, bahkan terkadang rasanya hambar. Jangan berspekulasi bahwa kamu adalah manusia paling menderita di bumi ini... Bukankah itu terlalu egois? Coba pikirkan dengan nasib orang-orang di belahan bumi lainnya. Dibanding mereka, hidupmu adalah yang terbaik." Sarat pesan mendalam, itulah yang Riko tangkap dari setiap kata yang terlontar dari bibir wanita di sampingnya. Untuk sesaat kedua pasang mata itu saling menatap. Rara membuang pandangannya ke arah laut di depannya. Dia tidak sanggup melihat luka di mata pria itu.
"Harusnya kamu bersyukur, masih memiliki Ibu kandung. Kamu juga tahu siapa Ayah kandung mu. Sementara aku, aku bahkan tidak tahu siapa Ayah dan Ibuku." Riko terpaku pada air mata Rara yang mengalir di kedua pipi wanita itu. Jelas sekali begitu sedih raut wajahnya.
"Aku anak angkat." Riko tercekat. Rara masih tersenyum dengan kenyataan pahit yang dia ketahui.
Helaan napas kasar pria itu tidak berhasil menyita perhatian istrinya. Aldo sampai pusing melihat Nindi berjalan mondar mandir seperti setrikaan.
"Nin, duduk dulu. Sini!" Aldo menepuk ruang kosong di sofa.
"Aku khawatir sama Rara. Tidak biasanya dia pergi tanpa izin dari orang tuanya. Dia juga tidak mengaktifkan ponselnya.. Aku takut.. Takut terjadi sesuatu yang buruk padanya.." Aldo mengusap punggung Nindi. Dia tahu, persahabatan Nindi dan Rara sudah seperti kakak adik. Sangat dekat. Jadi wajar saja jika istrinya itu sangat kalut ketika mendapat kabar dari orang tua sahabatnya..
"Tenang sayang. Aku udah telpon Bintang juga. Minta dia buat cari informasi tentang Rara. Ka Yuda juga siap membantu, kamu jangan berpikir aneh-aneh ya, nanti kamu sakit.."
Kabar menghilangnya Rara menjadi berita terhangat di keluarga Namira. Pasalnya, Rara seperti memikili tempat khusus dalam keluarga Rajasa. Yuda juga turut ikut dalam mencarinya. Mamanya tidak berhenti menanyakan kabar tentang pencarian Rara. Perasaan Yuda kembali memburuk saat ingatannya membawa kembali dia pada kejadian mengerikan beberapa belas tahun yang lalu. Dimana dia kehilangan salah satu adik kembarnya, Naira. Atau yang biasa di panggil Rara. Entah mengapa hati kecilnya menetapkan Rara yang ini sebagai adiknya, Naira, saudara kembar Namira.
"Ra, kamu kemana? Kalau mau kabur, ponselnya jangan dimatiin. Kalo kaya gini semua orang jadi bingung kamu kemana.." Yuda menyandarkan punggungnya di sandaran mobil. Sudah seharian sejak mendapat berita dari adik sepupunya Nindi tentang menghilangnya Rara. Yuda sudah mengarahkan banyak orang-orang suruhannya untuk mencari keberadaan Rara. Namun sampai saat ini dia belum menerima hasil baiknya.
Bintang pun bernasib sama, ayah satu anak itu mendadak harus izin dari rumah sakit demi membantu mencari Rara. Kepalanya pusing, yang menghilang Rara tapi yang sedih Namira. Wanita hamil itu terus menangis hingga membuat Bintang dan ibu mertuanya hampir kewalahan.
"Karna darah lebih kental dari pada air."
Yogyakarta, 4/09/2019
![](https://img.wattpad.com/cover/169393163-288-k566462.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
KARMA [TAMAT]
RomanceDI UNPUBLISH SEBAGIAN PART. CERITA INI SEDANG DIREVISI SECARA BERTAHAP. MOHON MAAF UNTUK TYPONYA. HARAP BERSABAR. EYD acak adul, amburadul. Harap paham hehehee. MOHON BERSABAR DALAM MEMBACANYA, KARENA CERITA ADALAH SALAH SATU YANG TYPONYA MINTA...