KARMA 17

2.2K 106 6
                                    

#versibaru30mei2021

Memulai pagi dengan mengantarkan Namira ke kampus, Bintang masih enggan untuk menceritakan kenapa kemarin dia harus pergi tiba-tiba ke rumah sakit. Hatinya diliputi perasaan bersalah, dia sekali lagi bertemu Nindi secara diam-diam. Padahal, Namira sudah mewanti-wanti untuk tidak lagi berdekatan dengan sang mantan. Memang pria, lain di mulut lain di hati.

Maaf, Sayang. Aku ngecewain kamu.

Dia juga tidak memberitahukan kalau Yuda menghajarnya, dan beruntung memar di perutnya berhasil dia sembunyikan. Setidaknya Bintang aman untuk sementara waktu, tapi tidak tahu besok. Mungkin Yuda akan melakukan hal lebih gila padanya.

Bintang menuntun sang istri masuk ke mobil. Sejak Namira hamil perlakuan Bintang terhadap Namira benar-benar lembut dan hati-hati. Bahkan, Bintang selalu mengontrol bicaranya untuk selalu berbicara dengan nada lembut. Dia ingin istri dan anaknya selalu dipenuhi oleh cinta.

"Kak, Namira bisa pasang seat belt sendiri," tolak Namira. Perlakuan Bintang terhadapnya membuat Namira merasa seperti orang catat. Apa-apa selalu pria itu yang lakukan untuknya. Padahal Namira bisa jika hanya memasang seat belt saja. Itu pekerjaan kecil.

Tetapi, Bintang tetaplah Bintang. Tidak menerima penolakan. "Ssttt.... Jangan ngebantah suami, ya? Dosa tahu," ujar Bintang. Namira hanya menghela napas, pasrah saja sepertinya itu lebih baik.

Namira memejamkan matanya ketika bibir Bintang mengecup dahinya, ah, suatu kebiasaan yang Namira terima sejak memperoleh gelar nyonya Adi Yaksa. Bibirnya tersenyum lembut mendengar seruan kecil yang diucapkan Bintang setelah mengecup dahinya, "I love you, Bunda."

Bintang mulai fokus dengan kemudinya saat mobil sudah ke luar dari halaman mewah kediamannya dan Namira. Tidak ada percakapan diantara keduanya karena Bintang selalu mengunci bibirnya ketika sedang mengemudikan mobil. Namira sudah hapal semua kebiasaan pria yang sebentar lagi menjadi seorang ayah itu. Begitu menikmati perjalanannya bersama Bintang, tanpa sadar keduanya sudah sampai di halaman kampus Namira.

Namira membuka seat belt nya saat sudah sampai, namun saat tangannya menyentuh pintu mobil lengannya ditarik Bintang. Kening Namira berkerut, "Kenapa, Kak?"

"Aku anterin sampai ke kelas," jawab Bintang. Namira dengan cepat menggeleng, dia tidak ingin menjadi bahan tontonan anak-anak. Namira masih memikirkan sebuah penolakan tapi dengan tiba-tiba pintu penumpang terbuka. Bintang berdiri di samping, mengulurkan tangannya kepada Namira.

"Ayo, melamunnya nanti aja." Namira tidak bisa menolak, sudah kepalang tanggung.

"KaK, malu tahu diliatin banyak orang." Namira sedikit menunduk. Bagaimana tidak, semua mata memandangnya dan Bintang seolah tidak ada objek lain yang bisa mereka lihat.

"Ngapain malu, sih, toh kita juga udah halal." Bintang justru bersikap masa bodoh. Keduanya berjalan sampai di depan halaman fakultas Namira, Bintang tersenyum lebar saat melihat kedua sahabat istrinya sudah menunggu Namira di depan kelas. Keduanya berjalan mendekat ke arah Tata dan Salsa.

"Pagi pasutri," sapa Tata dan Salsa berbarengan. Namira hanya mendengus, dia bisa mendengar nada mengejek dari kedua sahabatnya. Bintang membalas dengan ramah.

"Pagi, Tata. Pagi juga Salsa. Aku minta tolong sama kalian berdua. Tolong jaga Namira selama di kampus, ya. Jangan biarin dia jajan sembarangan. Kalau ada apa-apa kalian bisa telpon aku," ujar Bintang.

Tata dan Salsa mengangguk dengan semangat 45. "Siap, Pak Dokter. Pokoknya tenang aja. Kita berdua bakal jagain Namira."

"Makasih, ya." Bintang menatap Namira, melepas genggaman tangannya. "Na, aku balik dulu, ya."

"Hem." Bintang tersenyum lembut, dia tahu dibalik jawaban Namira yang cuek sang istri tersimpan rasa kesal. Bintang yakin. Tidak sampai di situ, Bintang kini menundukan wajahnya hingga sejajar dengan perut Namira dengan lembut menyapa sang buah hati.

"Ayah berangkat dulu, Sayang. Kamu sama Bunda belajar yang benar, ya. Jangan buat Bunda susah di kampus." Tangannya dengan lembut mengelus perut Namira. Diam-diam Namira tersenyum, rasanya sangat bahagia dan senang melihat Bintang seperti ini. Semoga Bintang bisa menjadi ayah yang baik bagi anak mereka kelak. Tata dan Salsa yang melihat adegan mesra itu hanya bisa mengusap dada sabar. Kalau seperti itu mereka juga ingin segera dilamar pacar, eh, tapi kan mereka berdua jomblo lumutan. Boro-boro dilamar, calon saja mereka tidak punya.

Namira hanya diam memandang mobil Bintang yang sudah keluar dari parkiran kampus, sedikit merasa kehilangan.

"Ayo, bumil. Gak baik berdiri lama-lama di depan kelas." Salsa dan Tata segera merangkul pundak Namira, membawa wanita hamil itu masuk ke dalam kelas. Baru saja Namira mendudukan pantatnya di kuris, sebuah suara menyebalkan menusuk rungunya.

"Aihhh.... Ya ampun. Namira, lo nemu di mana tuh suami kayak gitu?" Sagita, wanita blasteran Belanda Jawa itu merupakan satu dari beberapa teman adu bacot di kelas. Mulutnya yang pedas dan suka mencampuri urusan orang lain membuatnya terkenal seantero fakultas.

"Masa lo gak tahu, sih. Itu kan cowoknya si Nindi. Anak Teknik Arsitektur." Temannya Sagita menjawab dengan sinis.

"Jadi, ceritanya lo ngerebut cowok orang, nih? Ih, gak tahu malu banget si jadi cewek," ejek Sagita, matanya tertuju pada Namira yang diam tanpa pembalasan. Wanita itu memang tidak pernah menyukai Namira dari awal mereka bertemu.

"Eh, itu mulut kalau ngomong dijaga, ya. Belum pernah lihat bangku terbang, kan?" Salsa ikut emosi. Sahabat Namira itu memegang kursi tempat duduknya bersiap melakukan aksinya.

"Sudah, Sal. Jangan ribut di kelas," tegur Namira. Dia berusaha menenangkan sahabatnya yang sudah naik pitam. Salsa jika marah bisa seperti preman pasar. Kasar dan sadis.

"Emang benar, kan, sahabat lo itu ngerebut pacar orang." Sagita tak mau kalah dalam bersilat lidah. Wanita itu sangat pas untuk mengikuti debat tukang adu domba. Lihat saja wajahnya yang sinis. Belum lagi senyum tipis dan seringai iblisnya membuat Salsa geram ingin menjambak rambut pirangnya.

"Siapa yang bilang Namira ngerebut gue dari Nindi?" Suara tegas diikuti aura menyeramkan dari suara itu membuat kelas yang semula ramai menjadi sepi. Semua mata kini tertuju ke arah pria yang berdiri di depan pintu kelas. Bintang berdiri tegak dengan wajah sangarnya. Pria itu mengetatkan rahang menahan amarah melihat istrinya di permalukan di dalam kelas.

"Gue tanya sekali lagi. Siapa yang bilang Namira ngerebut gue dari Nindi?" Salsa dan Tata bergidik ngeri, ternyata di balik wajah kalem Bintang tersimpan sikap yang menakutkan.

"Jawab!!"

Semua yang berada di kelas menunjuk serempak ke arah Sagita. Membuat gadis itu meringis tipis menahan pipis karena takut diterkam Bintang yang berwajah manis tapi tampangnya sekarang sangat berbanding terbalik. Melihat Bintang yang dikuasai emosi membuat Namira segera menghampirinya. Dia takut Bintang berbuat kasar pada Sagita.

"Kak," Namira mengusap lengan Bintang, "jangan marah." Hati Bintang mencelos kala mendapati kedua netra sang istri berkaca-kaca. Kurang ajar. Kalau Sagita bukan perempuan Bintang pasti sudah menghajarnya.

"Kenapa nangis, ada yang sakit?" Namira menggeleng. Dia menyandarkan kepalanya di bahu Bintang, "Namira mau pulang, Kak."





****(((tbc)))***

KARMA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang