KARMA 44

1.4K 63 2
                                    


Jika mencintai seseorang tidak membutuhkan alasan, maka, membenci seseorang juga tidak butuh alasan. Karena keduanya berasal dari tempat yang sama.

Enam bulan kemudian....

"Kita impas. Sama-sama kehilangan sosok Ayah. Maaf, tapi aku merasa, ini sangat adil. Aku harap kamu mengerti.." Pria itu menghilang di balik kerumunan para pelayat yang mengantarkan zenajah Hermawan Rajasa.

Namira berontak dan menangis tersedu-sedu, papanya, pria yang sangat menyayangi Namira. Satu-satunya laki-laki di dunia yang tidak pernah meninggalkan Namira dalam kesedihan kini pergi untuk selamanya.

"Papa. Lepasin, Kak. Namira mau ketemu Papa. Papa ga boleh ninggalin Namira."

"Namira.. Papa udah ga ada. Iklas Papa, Na. Papa pasti terluka liat kamu seperti ini.." Bintang memeluk Namira yang menangis meraung-raung. Sementara ibu mertuanya sudah berada dalam pelukan Yuda. Kakak iparnya itu terlihat tenang. Kedua matanya tertutup dengan kaca mata hitam. Tapi Bintang bisa merasakan, ada luka yang tampak nyata dalam raut wajah datar itu.

Telinga Yuda penuh dengan suara tangisan adiknya. Ibunya bahkan tak menangis seperti Namira, tapi air mata terus saja mengalir.

"Papa...!!" Namira menghempaskan pelukan Bintang. Dia maju menghalangi para pelayat yang akan menguburkan ayahnya.

"Jangan sentuh Papa saya!'

"Namira." Bintang mencoba mendekati istrinya.

"Kak, ayo! Kakak harus selamatkan Papa. Ayo Kak! Kita bawa Papa ke rumah sakit. Namira yakin, Kakak pasti bisa menolong Papa." Bintang ikut luruh ke tanah. Tubuhnya memerangkap Namira dalam dekapannya.

"Namira.. Jangan seperti ini! Ikaskan Papa..."

Acara pemakaman berlangsung tenang setelah Namira berhasil di tenangkan Bintang. Masih belum bisa menerima kenyataan, Namira terus menangis hingga pingsan.

Rumah duka masih ramai, beberapa orang masih berdiri setelah mengadakan pengajian. Yuda menghampiri para tetangganya yang pamit pulang.

"Makasih, Bapak-Bapak sudah bersedia datang ke rumah kami.."

"Iya, Nak Yuda. Sampaikan salam untuk ibunya dan Namira. Yang sabar ya. Kami pamit..."

Sepi. Satu kata yang mampu menggambarkan rumah besar itu. Yuda duduk di ruang tengah dengan baju koko. Kepalanya menunduk. Perlahan air matanya turun.

"Kenapa, Pah? Kenapa Papa pergi sangat cepat. Yuda bahkan belum bisa buat Papa bahagia.."

Bintang yang berada di dekatnya hanya diam. Dia tahu, paham, betapa sakitnya kehilangan sosok ayah dalam hidup. Mungkin dia belum merasakan hal ini. Tapi dia pun menjadi sedih melihat Namira, Yuda dan ibu mertuanya begitu kehilangan sosok Hermawan Rajasa.

Satu persatu kenangannya bersama sang ayah mengulang dalam kepalanya. Tidak akan cukup waktu untuk mengungkapkan betapa dia akan merindukan sosok itu di hari-hari besok.

Matanya perih namun sakit di hatinya lebih perih lagi. Siapa pun tahu, kematian adalah yang tidak bisa dihindari. Tangannya gemetar memegang erat bingkai foto keluarganya.

Malam ini semuanya berduka. Mereka tidur dengan berselimut duka dan bermimpi buruk. Air mata menjadi lagu pengantar tidur yang sendu. Setiap butirannya mengingatkan pada sosok yang meninggalkan mereka.

"Papa.." Namira mengigau dalam tidurnya. Air mata merembes dari sudut kelopak matanya. Bintang mendekapnya erat. Mengusap peluh dan air mata Namira dengan lembut..

"Papa.. Jangan tinggalin Namira!!" Suara terdengar lirih. Penuh luka di setiap kata yang terucap. Bintang sadar, tidak akan mudah bagi Namira untuk melalui semua ini.


Yogyakarta, 21/08/2019

KARMA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang