KARMA 16

2.4K 122 4
                                    

#versibaru30mei 2021

Ada beberapa bagian yang dipotong dan ditambahkan... 





Bintang menarik napas sebanyak-banyak yang dia bisa, dadanya berdebar kencang akibat berlari dari parkiran sampai ke lobi rumah sakit. Semua gara-gara Nindi, Bintang sampai harus meninggalkan Namira di rumah mamanya. Padahal, Bintang sudah berjanji kalau dia akan menjauhi Nindi demi menjaga perasaan sang istri. Tapi, sekarang dia justru berlari bagai orang dikejar setan saat tahu sang mantan melakukan aksi bunuh diri.

Sungguh, Bintang janji ini yang terakhir kalinya dia melakukan hal ini. "Aku janji, Namira. Ini yang terakhir kalinya aku menemui Nindi. Maaf, Sayang."

Bintang tidak perlu bertanya di mana ruangan Nindi, Aldo tadi sudah mengabarinya lewat pesan. Kaki Bintang melangkah tergesah-gesah kearah kamar bernomor 202. Menarik napas dalam-dalam, Bintang mengetuk pelan pintu tersebut dan tanpa menunggu izin dia segera masuk.

Bunyi pintu yang terbuka menyadarkan seorang perempuan yang sedang duduk melamun sambil menatap kosong ke arah televisi yang menyala. Senyum lembut yang selalu tertuju hanya untuk Bintang terukir di bibir pucat Nindi, hati Bintang lemah melihat Nindi tampak menyedihkan.

"Bintang, aku kangen." Tanpa kata, langkah kaki Bintang mengikis jarak diantaranya dan Nindi menarik gadis itu dalam pelukannya.

"Please, Nin. Jangan siksa diri kamu. Jangan seperti ini. Kita sudah tidak bisa bersama lagi," ujar Bintang. Suaranya bergetar karena menahan segala emosi yang berkecamuk di dalam dadanya. Dia memang sudah mencintai Namira, tapi hatinya masih menyimpan simpati untuk sang mantan.

Tangis Nindi pecah, kenapa Bintang selalu mengucapkan kalimat mematikan itu setiap kali mereka bertemu? Seharusnya Bintang bisa mengerti keadaan Nindi.

Bintang melepas pelukannya, mengusap air mata Nindi yang jatuh karenanya. Namun, Nindi masih mencengkram lengan Bintang. Dia seolah tidak ingin pria itu menjauh darinya.

"Udah makan?" tanya Bintang lembut.

"Belum. Gak suka makanan rumah sakit. Gak enak." Bintang menarik napas mendengar jawaban Nindi.

"Mama kamu juga kenapa gak nemenin kamu?"

Nindi menggelengkan kepalanya lemah, kepalanya kini dia sandarkan di dada Bintang tempat ternyamannya yang sudah menjadi milik wanita lain. Mengingat hal itu membuat Nindi tanpa sadar mencengkram kemeja Bintang.

"Mama lagi di luar kota, Bintang. Besok baru balik. Mbok Sumi aku minta buat jaga rumah. Dia udah tua gak baik kalau begadang jagain aku," ujar Nindi.

"Nin, aku ke luar cari makan dulu. Kamu di sini aja, ya?" Bukan Nindi namanya jika dia membiarkan kesempatan emas bersama Bintang berlalu begitu saja. Dia hampir kehilangan nyawanya demi bisa berada sedekat ini dengan pria yang dia cintai. Maka dari itu ....

"Pesan online aja makanannya," usul Nindi. "Aku takut kalau kamu ninggalin aku sendiri,"

Bintang mengalah. "Oke. Aku pesan online aja makanannya." Nindi tersenyum senang, tapi ....

"Nin, boleh lepas pelukannya?"

"Kenapa?"

"Aku capek berdiri." Nindi menurut, melepaskan pelukannya dan membiarkan Bintang duduk di sofa panjang yang terletak beberapa langkah dari tempat tidurnya.

Bintang duduk di sofa, mengeluarkan ponselnya dan memesan makanan untuk Nindi. Semua pergerakan Bintang tidak luput dari Nindi, dalam hati dia tertawa bahagia.

"Namira, Namira. Sudah aku bilang kalau Bintang itu tidak bisa melepaskanku. Kamu memiliki raga Bintang, tapi tidak dengan hatinya. Hati Bintang masih milikku. Dan, aku akan pastikan hal itu." Nindi tidak sabar melihat kehancuran rumah tangga Bintang, terutama Namira. Dia ingin wanita manja itu menjadi istri yang terlupakan.

"Sebentar lagi aku akan menggantikanmu untuk menjadi Nyonya Adi Yaksa. Tunggu saja tanggal mainnya." Gila. Satu kata itu sangat identik dengan Nindi, kegilaannya disebabkan karena cinta buta yang sudah mengakar di hatinya. Dia tergila-gila dengan Bintang. Sampai-sampai otaknya terus saja memikirkan cara licik untuk menghancurkan pernikahan Bintang.

Bintang berdiri, kakinya melangkah ke arah jendela dengan ponsel yang menempel di telinganya.

"Halo. Assalamu'alaikum"

"Walaikumsalam. Mas di mana?"

"Mas di rumah sakit, Ri. Kenapa?" Nindi gusar, mungkin saja telepon yang diterima Bintang berasal dari Namira. Wanita itu ....

"Namira, Mas."

"Namira kenapa?" Tuh, kan. Nindi sudah menduga. Biang keroknya adalah Namira.

"Dia muntah, Mas."

"Dia muntah?"

"Iya. Dia juga nanyain Mas terus."

"Sekarang dia gimana, Ri? Masih muntah?" tanya Bintang. Wajahnya gelisah, sepertinya dia harus pulang. Namira membutuhkannya.

"Udah gak Mas. Tapi dia lemas. Sekarang lagi di buatin Mama susu jahe."

"Oke, Ri. Mas pulang sekarang." Bintang menutup panggilannya setelah mengucapkan salam. Laki-laki itu berbalik dan menatap Nindi yang kini tengah menatapnya dengan sorot mata memohon untuk tidak ditinggalkan.

Tidak! Bintang mungkin saja simpati dengan keadaan Nindi saat ini. Dan, merasa bertanggung jawab. Tapi, Namira lebih penting saat ini.

"Kamu bakalan ninggalin aku lagi, Bintang?" tanya Nindi. Pertanyaan yang yang hanya akan menambah luka bagi dirinya sendiri.

"Maaf, Nin. Aku harus pulang. Namira, istriku, dia butuh aku," ucap Bintang. "Makanannya nanti dianterin suster. Kamu harus makan, Nin. Tubuh kamu butuh nutrisi. Kamu harus segera pulih."

Nasihat tulus dari Bintang, tapi bagi Nindi terdengar seperti sebuah lelucon. Perhatian yang entah mengapa membuat hati Nindi semakin sakit. Lukanya seperti ditaburi garam.

Pintu kamar tertutup. Pandangan mata Nindi memburam, satu kali kedipan maka pipinya akan langsung basah dengan air mata.

"Ternyata aku kalah, Bintang. Namira sepertinya telah memiliki hatimu."

****

"Bagus. Ninggalin istri yang lagi hamil di rumah dan berkencan dengan mantan kekasih. Waw, luar biasa."

Bintang terkejut, bukan karena suara sinis yang tiba-tiba terdengar dari balik punggungnya. Bukan. Tetapi, si pemilik suara. Kakak iparnya. Binatang merasa kerongkongannya kering, dengan gerakan kaku dia berbalik menatap Yuda yang memasang senyum angkuh.

"Abang," panggil Bintang. Tapi Yuda tidak menyahut sama sekali. Matanya hanya menyorot tajam pada Bintang. Seakan dia ingin menelan Bintang.

"Abang salah paham. Bintang ke sini--" Yuda mengangkat tangannya, pertanda si adik iparnya untuk diam.

"Lo harus dikasih pelajaran." Bintang tidak bisa melawan, meskipun melawan dia tetap tidak sebanding dengan Yuda. Pria itu memiliki kekuatan yang lebih besar dari Bintang. Belum lagi Yuda adalah kakak iparnya, dia tidak mungkin mengarahkan tangannya untuk melukai kakak istrinya. Selain itu, Yuda adalah direktur di rumah sakit tempatnya bekerja sekaligus anak pemilik rumah sakit. Lagi pula ini salah Bintang. Dia mengingkari janjinya pada Namira.

Bintang dihempaskan kuat hingga terjatuh di atas pavin, satu pukulan di perutnya membuat Bintang meringis kesakitan. Yuda sepertinya tidak menahan diri ketika memberi pelajaran padanya.

"Gue sengaja pukul lo di tempat tertutup. Gue gak mau lihat Namira sedih melihat suaminya babak belur. Padahal, suaminya memang pantas babak belur," geram Yuda.

"Maaf, Bang. Bintang salah," sesal Bintang.

"Lo tahu, gue sayang mampus sama Namira. Dia wanita yang gue jaga dengan sepenuh jiwa, apa pun keinganannya selalu gue penuhi. Gak pernah sekalipun gue izinin dia buat sedih. Tapi, lo dengan seenaknya buat Namira sedih. Lo emang brengsek, Bintang."

Bintang kehilangan kata-katanya. Dia tahu Yuda sangat menyayangi Namira, adiknya. Hingga Bintang sadar bahwa kata maaf tidak akan cukup untuk menenangkan amarah Yuda.






*(((bersambung)))*

Jangan lupa vote dan koment. Jangan diam diam aja.

Yogyakarta, 27 Januari 2019

KARMA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang