Ada rasa sesal yang tiba-tiba muncul dalam dirinya. Perlahan gemetar menghampiri kedua tangannya. Masih lekat dalam ingatannya, bahwa dengan tangannya lah nyawa pria itu melayang."Bukan salah lo, ini udah benar," Riko membatin. Menguatkan hatinya bahwa hal yang dia lakukan adalah benar. Hermawan Rajasa telah banyak memberi luka dan sakit pada keluarganya. Riko kehilangan segalanya karena pria itu. Mungkin yang dia rasakan saat ini, perasaan bersalahnya akan segera hilang. Hanya sementara. Riko meyakinkan dirinya.
Semilir angin sejuk memasuki celah-celah udara di kamar. Kedua insan itu masih terlelap dengan saling berpelukan. Nindi dan Aldo masih dikuasai mimpi indah di hari bulan madu mereka. Lengan pria itu memeluk posesif wanitanya. Membuat pagi yang dingin menjadi hangat. Gerakan pelan dari Nindi tak bisa membangunkan Aldo. Perlahan manik Nindi mengerjap, menyesuaikan dengan penerangan lampu yang menyilaukan matanya. Senyum dan rona merah menjalar di setiap wajah hingga ke merambat ke telinganya. Wajah terlelap Aldo yang pertama dia lihat.
"Ganteng kalo lagi tidur," ujarnya. Jemari Nindi menyusuri pahatan wajah suaminya. Suami? Dia masih belum yakin, Aldo sahabat Bintang yang menjadi teman hidupnya. Pria itu yang akan menemani Nindi hingga akhir hayat. Hanya Aldo yang akan dia lihat wajahnya dari bangun tidur hingga tidur lagi. Hanya pria itu yang akan menyediakan bahunya untuk Nindi bersandar.
Tidak bisa lagi untuk tidak tersenyum. Jemari lentik itu berhenti di bibir Aldo. Mengusap pelan organ tubuh pria itu yang begitu memanjakan Nindi tadi malam. Dengan keberaniannya, Nindi mengecup lembut. "Aku cinta kamu, Do.." Perkataan Nindi berhasil membuat Aldo terbangun.
"I know." Mata Nindi terbelalak. Kaget dengan suara serak dan mata hitam gelap itu yang menatapnya lembut penuh cinta. "And you know, i always love you. Realy, realy, love you.." Air mata Nindi menyusuri pipinya. Bahagia dengan kehadiran Aldo di sisinya.
"Please, don't cry. You make me sick.." Aldo mengusap air mata Nindi. Mengecup kedua kelopak mata istrinya.
"Makasih, Do. Makasih untuk semuanya.." Nindi bersandar di dada bidang Aldo. Sementara pria itu merubah posisinya dengan bersandar di kepala ranjang. Merengkuh erat pinggang istrinya.
"Seharusnya aku yang bilang makasih. Kamu udah mau menerimaku yang pria biasa-biasa saja. Bahkan aku tidak bisa memberikan kehidupan berlimpah kemewahan seperti yang di berikan keluargamu.." Ciuman Nindi memotong perkataan Aldo. "I don't care. Kamu saja sudah cukup untuk melengkapi semua yang aku butuhkan.." Nindi berkata dengan bibir masih menempel pada bibir Aldo.
"Nindi, i love you.." Aldo mencium dengan lembut bibir Nindi. Melumat pelan kemudian membaringkan istrinya. Tatapan Aldo mampu membuat Nindi melemah. Dengan segera mereka kembali melanjutkan kegiatan faforit suami istri.
Jika waktu Aldo dihabiskan dengan saling memadu kasih dengan istrinya. Maka berbeda dengan sahabatnya, Bintang justru kerepotan mengurus ngidam Namira. Ingin rasanya Bintang mengurung dirinya di rumah sakit. Ngidam istrinya tidak ada yang baik baginya. Kehamilan Namira baru diketahui setelah mereka mengantarkan Aldo dan Nindi ke bandara untuk bulan madu. Hal bahagia yang disambut gembira oleh keluarga besar keduanya. Bertambah lagi satu anggota baru.
"Kakak, Namira mau Kakak nangkap ikan Lele pakai tangan kosong..." Dengan cengiran polosnya Namira meminta hal gila itu pada suaminya.
"Sayang, kamu tahu, kan.."
"Ga tahu.." Namira menjawab cuek.
Sabar Bintang.. Sabar.."Lele itu kaya Belut. Licin. Kakak mana bisa nangkap ikan Lele tanpa alat.." Bintang berusaha menjelaskan ngidam aneh istrinya.. Namira yang menangkap sikap menolak Bintang segera melepas rangkulan suaminya.
"Kakak tega ya. Ini itu keinginan anak Kakak.." Namira mengusap perutnya yang masih rata.
"Sayang, maksud Kakak..."
"Maksud apa? Kakak ga mau tanggungjawab. Kakak enak cuman buat. Namira yang merasakan hamilnya, ngidam, sakitnya kalau morning sicknes. Namira ga bisa tidur cukup. Namira suka pusing, makan juga ga enak..." Mata istrinya sudah berkaca-kata. Bahkan satu kedipan pun mampu meluruhkan air matanya..
Bintang tidak sanggup melihat semua itu. Dia rela melakukan apa pun untuk Namira. Sungguh. Hanya saja keinginan istrinya selalu membuat Bintang geleng kepala.
"Sayang.." Bintang membawa Namira dalam pelukkannya. Membiarkan air mata Namira membasahi kemejanya. "Maafin Kakak. Jangan nangis, ya.." Hanya anggukan kecil yang diberikan Namira.
"Masih mau ikan Lele?" tanya Bintang sambil menyatukan keningnya dan kening Namira.
"Bunda, Ayah nanya masih mau ikan Lele?" Namira terpaku pada tatapan Bintang. Hidung mereka bergesekan pelan menambah sensasi geli namun nyaman bagi keduanya. Bunda adalah panggilan sayang dan khusus dari Bintang. Jika sudah mengatakan Bunda maka Namira akan dengan mudah luluh pada Bintang.. "Bunda.." Suara Bintang sangat lembut. Namira masih terdiam. Antara bingung dan tidak tahu harus berkata apa.
"Sayang, jangan diam aja! Ayah bakalan cari ikan Lelenya sampai ketemu. Bunda.. Jangan marah! Jangan diamin Ayah.. Ayah minta maaf kalo salah.."
"Bunda ga mau lagi ikan Lele. Bunda maunya Ayah.." Namira menyembunyikan wajahnya yang merona malu. Ngidam anehnya selalu buat emosinya berubah-ubah. Kadang manja. Kadang pemarah. Dan kadang cengeng. Melonggarkan sedikit pelukkannya, Bintang merangkum wajah istrinya.
"Ayah juga mau Bunda.."
Yogyakarta, 2/09/2019
KAMU SEDANG MEMBACA
KARMA [TAMAT]
RomanceDI UNPUBLISH SEBAGIAN PART. CERITA INI SEDANG DIREVISI SECARA BERTAHAP. MOHON MAAF UNTUK TYPONYA. HARAP BERSABAR. EYD acak adul, amburadul. Harap paham hehehee. MOHON BERSABAR DALAM MEMBACANYA, KARENA CERITA ADALAH SALAH SATU YANG TYPONYA MINTA...