KARMA 10

3.3K 149 2
                                    

#versibaru26mei2021




Hermawan Rajasa hanya bisa menghembuskan napas pasrah menghadapi tingkah istrinya. Muka yang ditekuk dan wajah cemberut diusia kepala empat membuatnya terlihat sangat lucu. Andai saja tidak mengingat tempat, Hermawan pasti tertawa terbahak-bahak.

"Senyum terus, seneng ketemu mantan?" Hermawan mendesah pasrah, senyum pun sudah salah. Seandainya sang istri tahu, bukan mantan pacarnya yang membuat Hermawan terus menerus mengulum senyum gelinya. Ayu pasti tidak akan melemparkan pertanyaan menuduh itu. Hermawan diam saja sambil menggenggam telapak tangan istrinya.

Hermawan mencoba tenang menghadapi situasi ini. Di dalam sana anak mantan pacarnya tengah ditangani dokter. Penyebabnya kecelakaannya adalah gadis itu berusaha menyelamatkan Namira dari kecelakaan dan berakhir dengan dirinya yang menjadi korban tabrak lari. Setidaknya itulah yang keterangan para saksi yang melihat kejadian tersebut.

Di kursi sebelah ada Bintang dan Namira. Menantu Herwamawan itu tengah berusaha menenangkan Namira, dia tahu istrinya pasti syok setelah hampir saja mengalami korban tabrak lari. Atau mungkin Namira khawatir terhadap kondisi Nindi, Nindi seperti itu karenanya.

Bintang menarik Namira dalam pelukannya, "Dokter akan melakukan yang terbaik untuknya." Berharap dengan begitu Namira bisa tenang, akan tetapi, semua itu tidak terjadi. Selang beberapa menit kemudian keadaan di depan ruangan UGD kacau. Aini, ibu Nindi datang dan langsung menyerang Namira dengan kata-kata pedas.

"Ini semua gara-gara kamu." Aini berteriak di depan Namira, "Kamu kan penyebab anak saya kecelakaan. Kamu itu memang pembawa sial, saudara kembar kamu hilang juga karena kamu. Dasar anak pembawa si--"

"Cukup!!!" Semua orang yang berada di situ terdiam, marah seorang Hermawan Rajasa sangat menakutkan.

Hermawan berdiri dari duduknya, "Tutup mulutmu, Aini. Kamu tidak berhak menyalahkan putriku."

Sementara semua yang ada di situ semakin bingung dengan keadaan yang ada. Terutama Bintang dan Namira.

"Ma-ma-maksud Tante ap-apa?" Namira tidak mengerti, "Saudara kembar? Maksudnya?"

"Bukan apa-apa, Sayang." Ayu mendekati putrinya, lalu beralih pada menantunya. "Bintang, bawa Namira pulang ya. Dia butuh istirahat."

"Iya Ma." Bintang yang mengerti dengan keadaan ini segera merangkul pundak istrinya.

"Tapi, Ma."

"Biar Kakak yang jelasin semuanya. Sekarang, ayo pulang." Yuda berjalan lebih dulu meninggalkan Namira dan Bintang yang menyusulnya dengan seribu macam pertanyaan tentang saudara kembar Namira.

Dalam perjalanan pulang, tidak ada satu pun yang membuka suara. Yuda sibuk menyetir, sementara Namira menatap ke kaca jendela mobil dengan pandangan kosong. Yuda tahu di benak Namira sudah bergejolak segala macam pertanyaan.

Sesampainya di rumah sang adik, Yuda menceritakan semua tentang adiknya yang ternyata memiliki saudara kembar. Diusia tiga tahun saudara kembar Namira, Naira hilang. Mereka sudah melakukan berbagai cara namun hasilnya tidak ada. Sampai saat ini tidak pernah ada kabar lagi tentang Naira. Ibunya sempat jatuh sakit selama setahun, sehingga mereka memutuskan pindah ke Belanda sementara waktu, sampai semuanya membaik. Dan selama itupun ayahnya tetap berusaha mencari keberadaan Naira. Menyewa beberapa detektif swasta untuk menemukan putrinya.

"Apa Kakak tahu, siapa yang menculik Naira?" Namira menatap lekat kakaknya menanti sebuah jawaban. Yuda menggeleng pelan.

"Kakak masih terlalu kecil untuk mengingat kejadian itu. Yang Kakak tahu, pelakunya adalah salah satu karyawan di kantor Papa. Menurut informasi dari detektif yang menyelidiki kasus hilangnya Naira, motif pria itu menculik Naira karena merasa sakit hati sudah dipecat dengan cara tidak terhormat."

Bintang tidak pernah menduga situasi akan serumit ini. Jika sampai sekarang tidak pernah ditemukannya Naira, kemungkinan besar Kakak iparnya itu masih hidup. 

Yuda menatap sang adik, "Na, sebaiknya kamu istirahat. Kakak balik dulu. Soal apa yang terjadi hari ini jangan kamu jadikan beban." Namira hanya diam saja, tatapannya kosong. Bahkan ketika Yuda mencium keningnya pun dia tidak bereaksi apa pun. Pikirannya benar-benar kacau.

Bintang menghela napas lelah, dia juga prihatin dengan kondisi Namira. Bagaimanapun, Namira pasti merasa bersalah. Mungkin dia masih memikirkan perkataan ibu Nindi. Atau mungkin memikirkan saudara kembarnya yang baru diketahui beberapa jam yang lalu. Bintang memeluk Namira dari belakang, "Angin malam gak bagus buat kesehatan kamu." Dia membalik tubuh Namira, menghapus jejak-jejak air mata yang masih tersisa.

"Kalau kamu nangis terus yang ada kamu malah sakit, jangan bikin aku hawatir, Na."

"Maaf," Namira menunduk, "aku memang selalu menyusahkan, aku yang membuat saudara kembarku menghilang. Aku juga yang membuat Nindi harus terbaring di rumah sakit. Aku ini pembawa sial. Aku ..."

"Cukup, Namira."

Jujur saja, Bintang merasa nyeri di dadanya melihat Namira selalu saja menyalahkan dirinya. "Kamu itu bukan pembawa sial."

Namira tersenyum, "Benar yang dibilang nyokap Nindi, aku anak pembawa sial. Bukan hanya merusak hubungan Kakak dan Nindi. Aku juga membuat mantan pacar Kakak masuk rumah sakit."

Bintang tidak tahan lagi dengan perkataan Namira. Pria itu membungkam bibir istrinya dengan miliknya. Hanya sesaat. Dia menangkup wajah Namira dengan kedua tangannya, "Kalau begitu aku juga pembawa sial." Namira melotot, "Maksud Kakak apa?"

"Aku juga merusak hubungan kamu sama Riko, aku juga yang membuat Riko harus memutuskan kamu lewat surat dan aku juga yang membuat kamu harus dirawat di rumah sakit." Jemari Bintang naik untuk mengelus bekas luka Namira.

Namira menggeleng keras, "Itu gak benar. Semua itu bukan salah Kakak." Bintang mendekap erat istrinya, baju tidur tanpa lengan memang membuat kedua lengan Namira menggigil. "Mulai sekarang, jangan pernah menyalahkan diri sendiri. Jangan pernah mengatakan kalau kamu pembawa sial. Karena buat aku, kamu itu anugrah dalam hidup aku. Kamu itu warna dalam hidup aku. Kamu itu calon ibu dari anak-anak aku." Namira merasakan kecupan hangat di keningnya. "Terima kasih sudah mau hadir dalam hidupku. Terima kasih sudah menjadikan aku sebagai tulang punggungmu." Setetes air mata Bintang jatuh, dia benar-benar tidak menyangka secepat ini dia bisa menerima Namira dalam hidupnya. Menggantikan posisi Nindi dihatinya.

Namira tidak buta, dia bisa melihat kejujuran di mata Bintang. Wanita itu menghapus air mata Bintang. "Terima kasih sudah mencintaiku, Kak." Senyum termanis dia berikan untuk suaminya. Sudah saatnya Namira meninggalkan semua tentang masa lalunya, dan memulai dengan lembaran baru bersama Bintang.

Bintang sudah siap dengan segala masalah yang akan mereka hadapi kedepannya. Pernikahan mereka yang masih berumur jagung, tidak akan selalu harmonis dan baik-baik saja. Ibarat sebuah pohon, semakin dia tumbuh dan besar maka akan semakin kencang angin yang menerpanya. Bintang mengeratkan pelukannya. "Apa pun yang terjadi tetap percaya padaku, jangan biarkan emosi dan perasaan menipu mata dan telinga. Gunakan hatimu untuk merasakan, melihat dan mendengar dengan baik. Mata dan telinga bisa saja salah, tapi tidak dengan hati. Hati aku udah sepenuhnya milik kamu, Na. Maka jangan pernah meragukan aku, apa pun yang terjadi."

"Aku percaya sama Kakak. Aku juga berharap hal yang sama. Selalu percaya sama aku apa pun yang terjadi hati aku sudah menjadi milik Kakak, gak akan pernah berpaling sekalipun Kakak mengusirku."

"Gak akan.Sekalipun aku gila, amnesia bahkan koma sekalipun. Aku ga akan pernah melepaskamu dari hidup aku, Namira Aku janji."










**((bersambung))**

Maaf typo yang banyak bertebaran😁

Selamat membaca dan koment juga..


KARMA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang