Garis simetris di wajah cantiknya tak kembali tampak. Jika boleh jujur, dia terlalu malas untuk melayani para pria di hadapannya. Bau alkohol itu sungguh membuatnya muak. Tapi apalah daya, dia sudah berjanji untuk ikut berpartisipasi dalam rencana.
"Sora, pria itu minta dua botol soju, tolong ambilkan," kata Irene pada Sora, salah satu karyawan di klub ini.
Merasa namanya dipanggil, ia menoleh kemudian mendengus kesal.
"Kau ini niat jadi pemagang atau jadi bos, sih?" ucapnya sembari berkacak pinggang, terdengar dari nada bicaranya ia tampak tak terima.
"Tidak ada niatan seperti itu di kamus hidupku," jawab Irene. Ia tak mempedulikan tatapan pelanggan yang kini menyorotinya.
Lantas wanita cantik itu melontarkan senyum pada pengunjung yang sepertinya sudah diambang antara kesadarannya, membuat mereka semakin tak bisa mengontrol nalurinya.
"Untuk hari ini saja aku seperti ini, setelah itu kau tidak akan lagi melihatku. Jadi menurutlah."
Wanita dengan marga Song itu tercekat ketika lengan Irene mencengkeram lengannya kemudian membawanya pergi dari bar tersebut. Di sinilah mereka berada, tempat dimana ruangan dipenuhi oleh tumpukan kardus minuman dengan pencahayaan yang minim.
Wanita itu memekik, kemudian menempis kasar lengan Irene. "Perilakumu ini akan aku laporkan, Irene-ssi. Kau ini hanya pemagang, jadi jangan macam-macam pada karyawan senior sepertiku."
Ingin sekali Irene meledakkan tawanya. "Hanya menjadi seorang bartender saja sudah sombong, cih."
"Ya, lalu kenapa? di sini posisiku lebih tinggi," kata Sora dengan sombong. Menghela nafas sejenak, kemudian kembali menuturkan, "Daripada seorang pemagang tak tahu sopan santun sepertimu," kekehan kecil memenuhi ruangan itu. Untung saja tak banyak orang yang mengetahui keberadaan gudang minuman di klub itu, jika iya mungkin akan mengira sumber suara itu berasal dari makhluk tak kasat mata. Pasalnya di sini minim cahaya dan sepi.
"Asal kau tahu saja, aku kenal dengan bosmu. Dia punya hutang 30 juta won denganku. Jadi masih mau menyombongkan diri di depanku?"
Melihat gelagat wanita di depannya yang membeku, membuat Irene menyudahi acara menyombongkan dirinya. "Aku hanya ingin kerja sama denganmu."
"Kerja sama apa?"
Irene tersenyum miring, ketika Sora mulai tertarik akan pembicaraannya. Ia kemudian mendekatkan wajahnya ke telinga Sora, membisikkan sesuatu yang berhasil membuat Sora mematung dengan mulut terbuka.
"Ini imbalannya," kata Irene, lantas menyodorkan amplop yang cukup tebal pada Sora.
"Lebih besar dari gaji bulanan yang kau terima. Hanya tutup mulut, dan mengantarkan minuman padanya, itu mudah bukan?" Irene melenggang begitu saja setelah ia menepuk bahu wanita itu.
"Hei, sudah lama di sini?" sapa Irene pada pria yang tak lagi muda. Pria itu mendongakkan kepalanya, seraya tersenyum menyambut kedatangan Irene.
"Irene, ya?" tanyanya yang hanya diangguki oleh Irene.
"Chan-"
"Sstt ...jangan menyebut namanya di sini," titah Irene yang membuat pria itu mengerutkan dahinya.
"Baiklah, aku tidak akan menyebut namanya," sahut sang pria. Kemudian kembali menyesap puntung rokok di sela jarinya.
"Dia belum kemari?" tanyanya, berusaha mengulang pertanyaannya yang sempat tertunda.
"Belum, masih dalam perjalanan. Sasaran kita akan kemari dengan salah satu dari tim kami."
Pria itu manggut-manggut, kemudian mengedarkan pandangannya. "Di sini tidak ada CCTV?"

KAMU SEDANG MEMBACA
[1] He Is Mine
أدب الهواة(END)"Pembunuh yang sebenarnya adalah dia yang bersikap ramah denganmu." Tinggal di dunia yang kejam ini bukanlah mudah. Kau harus bertahan atau kau akan hancur termakan lobang kegelapan. Jangan tertipu pada apa yang kau lihat, karena kau tak tahu d...