03

17K 868 34
                                    

Siang telah tergantikan oleh malam, langit menjadi gelap dengan dihiasi para bintang yang terang. Cuaca malam hari ini memanglah sangat bersahabat untuk pasangan yang berkencan.

Namun tidak untuk Jennie. Baginya malam ini hanyalah malam yang menyebalkan, tubuhnya seakan-akan terasa remuk akibat aktivitasnya dari pagi hingga sore tadi.

Hampir seharian, ia terduduk dengan memandangi layar PC yang tiap hari menjadi temannya. Orang kira pekerjaannya tidak serumit itu, namun diluar dugaan justru pekerjaan yang terlihat sepele itu membuat dirinya pusing. Ia harus menghitung berapa banyak pengeluaran kantor tempatnya kerja, dan harus membuat laporan. Itulah resiko pekerjaannya, jika salah mengetik nominal saja itu akan fatal baginya.

"Aku pulang!" teriaknya yang menggema di seluruh ruangannya, seperti biasanya ia selalu meletakan tasnya sembarangan kadang di sofa ataupun di meja.

"Kamu terlihat penat nak? kenapa?" Jennie mendengus pelan dan memeluk wanita paruh baya itu.

"Mandi dulu sana, bau keringat tau," ucap wanita paruh baya itu sambil mendorong pelan putrinya untuk sedikit menjauhinya.

Jennie mengerutkan dahinya, "Nanti saja aku ingin istirahat dulu," ucapnya malas sembari mengambil tasnya dan melangkah ke arah kamarnya yang berada di lantai dua.

"Pantas saja tidak ada yang mau mendekatimu, karena kamu malas dan bau!" Pekik wanita paruh baya itu.
Jennie yang tadinya sudah berada di ujung anak tangga itu pun membalikkan badannya dan mempoutkan bibirnya.

"Aishhh eomma," rengeknya.

Tidak ingin memperpanjang masalah, ia pun melanjutkan langkahnya. Dengan malas ia berjalan menaiki satu persatu anak tangga, bahkan karena terasa lama ia pun melangkah dua anak tangga sekaligus.

"Hati-hati Jennie-a kau bisa terjatuh jika melangkah dua anak tangga sekaligus," kata eomma Jennie sambil menatap anaknya yang berada di tangga.

Jennie menatap ke bawah, melihat eommanya menasihatinya. "Tenanglah eomma! Aku akan baik-baik saja."

Wanita paruh baya itu menggeleng melihat tingkah putrinya seperti anak kecil saja. "Bersiaplah nanti kau akan menemui calon suamimu !"

Jennie membuka kelopak matanya lebar, ia menyelipkan beberapa rambutnya ke belakang telinga kanannya. Kemudian ia segera menatap eommanya yang masih berdiri di lantai satu.

"Yang benar saja ma? Secepat itukah aku akan menikah?"

"Yap, kamu tau kan  umur seseorang itu tidak ada yang tau."

Jennie menghela nafasnya berat, ia berjalan lesu menuju kamarnya yang tak jauh lagi, sekitar dua meter saja ia sudah dapat melihat pintu kamarnya yang berwarna putih.

Seakan zombie berjalan gontai, ia bahkan terlihat mengerikan melebihi zombie. Dengan rambut yang terlihat acak-acakan akibat ia mengusap frustasi dan pakaian kemeja yang dua kancing atasnya terbuka. Serta sepatu yang ia tenteng di tangannya, sedangkan tas selempang miliknya ia tarik begitu saja membiarkannya bergesekan dengan dinginnya lantai.

Klekk

Ia membuka pintu kamarnya dan meraba dinding samping untuk menyalakan lampu. Setidaknya kamarnya tidak berantakan sehingga tidak membuat emosinya naik. Justru kamarnya lah yang harum membuat dirinya lebih rileks daripada tadi.

Brukk

Jennie sengaja membantingkan tubuhnya di kasur empuk miliknya, tatapannya mengarah pada langit-langit kamar. Tentu saja sepatu dan tasnya sudah ia lempar begitu saja ke sembarang arah.

"Calon suami? Aku penasaran bagaimana wajahnya, apa dia tampan? Atau berbadan gemuk dengan perut melorot dan rambut di dadanya?" tanyanya pada dirinya sendiri sambil mengkhayal bagaimana wajah calon suaminya itu. Bahkan ia sudah membayangkan beberapa adegan kedepannya yang diekspetasikan seperti pada drama-drama yang pernah ia tonton.

[1] He Is Mine Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang