41

4.1K 325 65
                                    

Gelengan kecil sebagai balasannya. Wanita dengan surai panjangnya ternganga ketika kaca mata hitam itu turun tak lagi bertengger di batang hidung sang pria.  Ada raut keterkejutan di sana, begitu pula dengan sang pria namun ia lebih bisa mengendalikan ekspresi di depan anak buahnya.

Saat itu juga Irene merasa waktu telah berhenti, detak jantungnya seolah diam sejenak dan kembali lagi berdegup kala sang pria membuka suara.

"Sayang," panggilnya kemudian diikuti seringaian.

Irene bingung harus menyimpulkan guratan wajah tampan itu seperti apa, pasalnya wajah tampan dengan kulit seputih susu itu sulit sekali untuk ditebak sama seperti dulu.

Irene mendecih, "Jangan panggil aku seperti itu, menjijikan," kata Irene padanya dengan  tegas.

Kekehan kecil terdengar di sana, menyapa indera rungu Irene yang sudah lama sekali merindukan suara itu, tapi ia enggan untuk mengakuinya.

"Tuan Oh, dialah orang yang tidak mau tanggung jawab untuk ganti rugi," sela seorang pria yang tak lain adalah salah satu anak buah dari Oh Sehun, iya pria jangkung itu bernama Oh Sehun.

Kembali,  sudut bibir tipisnya terangkat mengukir sebuah senyum tipis di sana. "Rupanya kau masih sama, ya?" sang wanita mendengus, sambil melipatkan lengannya di depan dada. Tidak tahu saja jika dirinya sedang berhadapan dengan iblis yang menjelma menjadi manusia tampan.

"Jangan basa-basi, aku tidak punya banyak waktu. Cepat katakan berapa uang yang harus aku bayar sebagai ganti ruginya, Oh Sehun," nada yang keluar dari mulut Irene terdengar dingin begitu juga dengan tatapannya.

Pria itu menggerakkan jarinya, seolah menyuruh anak buahnya untuk menunggu di dalam mobil. Ia tersenyum simpul, seraya membenarkan jasnya. Entah untuk apa gunanya itu, namun sukses membuat detak jantung Irene tak karuan.

"Waah ....sekarang banyak gaya, ya? Memangnya kau bisa mengganti kerugiannya? Anak buahku cidera dan mobilku juga lecet, kau yakin mampu menggantinya?" kata Sehun dengan nada mengejek.

"Cih, meremehkanku  rupanya," Irene tersenyum pongah. Ia menatap pria jangkung itu dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Kelihatannya sudah naik pangkat, ya? Atau sengaja merebut posisi orang?" tanyanya diiringi tatapan sinis dari ekor matanya.

"Kalau iri bilang saja, iri itu tanda tak mampu."

Lagi-lagi Irene tertawa hambar. "Siapa juga yang iri denganmu. Sudah jangan membuang waktuku, aku sibuk," ucap Irene kemudian melangkahkan kakinya menjauhi Sehun yang masih terdiam.

"Hei, tunggu dulu!" seru Sehun, kemudian menyusul Irene yang kini sudah membuka pintu mobilnya.

"Apa?!" nada ketus Irene membuat Sehun geram. Sehingga tangan kekarnya mendorong tubuh ramping itu hingga membuat sang wanita terpojok dan terkunci pergerakannya.

"Dasar gila! Lepaskan aku bodoh!" 

Sehun menyeringai, manik kembarnya berubah seperti mata elang yang hendak memangsa buruannya. "Tidak semudah itu. Kau yang bodoh, jangan mengataiku bodoh kalau kau sendiri tidak punya otak!"

Irene menyipitkan mata ketika pria itu mengeluarkan benda kecil berwarna emas dan berlogo pedang berapi. Ya seperti itu jika dideskripsikan karena jujur saja Irene tidak terlalu jelas melihatnya.  Garis simetris akan kemenangan kembali terukir di sana, membuat Irene menciut.

"Lupakan soal ganti rugi! Kau bisa  membayarnya dengan menjawab pilihanku ...." Sehun menyeringai. "Opsi A,  kembali padaku dan seperti dulu, atau  yang B-" pria itu tampak membasahi bibirnya sebelum melanjutkan kalimatnya lagi.

[1] He Is Mine Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang