42

4.2K 378 41
                                    

Jennie menghela nafasnya panjang. Ia merenggangkan otot-ototnya sambil menguap. Entah kenapa hari ini terasa melelahkan baginya, padahal ia rasa pekerjaannya tidak terlalu banyak. Mungkin karena tubuhnya saja yang kurang istirahat, mungkin ...

Seharian ini ia hanya disibukkan dengan kliennya, menelpon ke sana kemari dan menanyakan tentang masalah perusahaan. Ia bersyukur, setidaknya semua kesibukan ini bisa mengalihkan rasa kesalnya pada Taehyung, walaupun itu sejenak. Tapi seperti ini resikonya, tubuhnya tidak bisa diajak kerja sama. Padahal ia sudah mengisi perut dan minum obat. Tapi kenapa ya perutnya masih terasa keram?

Apa itu efek dari obatnya? Jennie menempis semua pemikiran negatifnya. Gelengan kepala tampak ia lakukan mencoba menahan kepala yang ikut berdenyut. Perlahan pandangan netranya mulai kabur. Merasa dirinya semakin memburuk ia putuskan untuk pergi ke ruang kesehatan.

Ya itu tidak buruk. Mungkin terlelap sebentar rasa sakitnya akan hilang.

"Eunbi, bisa aku minta tolong?" tanya Jennie pada wanita yang tak jauh dari tempatnya berada.

Merasa namanya dipanggil, wanita dengan rambut dikuncir kuda itu kemudian menoleh dan mengiyakannya.

"Kalau ada yang mencariku, beritahu kalau aku ada di ruang kesehatan. Aku rasa tubuhku butuh istirahat sebentar," ujar Jennie sembari beranjak dari duduknya.

"Baiklah. Kau terlihat tidak baik-baik saja, perlu aku antar ke sana?" tawar Eunbi.

"Terimakasih, aku bisa ke sana sendiri. Kau juga lagi sibuk, kan? Kalau begitu aku duluan."

Jennie tersenyum simpul, setelahnya ia melenggang menuju ke ruang kesehatan, menyisakan karyawan lainnya yang masih sibuk dengan urusannya masing-masing.

🌸🌸

Kurang lebih membutuhkan waktu tiga puluh menit, wanita itu berhasil sampai di tempat tujuan. Dilihatnya sekarang, rumah besar dengan nuansa klasik. Jika dilihat-lihat, rumah itu terlihat biasa saja, namun jika kau melangkahkan kaki ke dalam kau akan disungguhi berbagai objek yang memanjakan mata. Dari barang keluaran 60-an bahkan sampai model terbarunya. Tampak seperti museum.

Namun itu hanya tipuan mata. Semakin kau langkahkan kaki ke dalam rumah itu  kau akan semakin bergidik ngeri. Nyatanya bukan hanya benda-benda kuno yang dikoleksinya, tetapi juga peninggalan para korban yang dibunuhnya. Seperti di ruang tengah ini banyak kotak kaca yang di dalamnya terdapat pakaian yang tak lagi bersih. Semuanya terdapat bekas darah yang telah mengering. Sang empunya rumah sengaja memajangnya, entah untuk apa yang jelas itu membuatnya senang.

Aneh sekaligus gila memang. Jika manusia normal mengoleksi perangko atau benda-benda yang memiliki nilai seni, pria jangkung itu justru mengoleksi pakaian bekas sang korban yang pernah ia hilangkan nyawanya.

Irene sedari tadi sengaja untuk tidak melihat ke sana kemari, jujur saja ia takut melihat barang-barang yang dikoleksi Chanyeol.

"Hei, kenapa terlambat?" tanya Chanyeol memecah keheningan di sana sekaligus membuat Irene membalikkan tubuhnya.

Retina matanya berhasil menangkap Chanyeol yang memegangi sebotol soju. Pria itu mengeliminasi jarak yang terbentuk di sana membuat Irene refleks melangkahkan kakinya mundur.

"Kenapa matamu sembam? Habis nangis?" tanya Chanyeol pada Irene.

Lantas wanita itu mengucek matanya cepat.  Ia menengadah ke atas memandang lampu gantung di sana.
"Jawab aku, Irene," gertak Chanyeol . Pria itu memilih mendudukkan dirinya di sofa yang tak jauh di sana.

[1] He Is Mine Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang