23

6.5K 392 6
                                    

Malam ini langit begitu mencekam, gumpalan gas hitam berkumpul menjadi  satu di atas dirgantara. Cahaya kilat saling menyambar menambah kesan mengerikan. Mendungnya  langit seperti  ingin menjadi kawan  untuk kegalauan Jennie. Pikirannya yang kacau membuatnya penat. Hatinya terasa gelisah saat ini.

Pakaiannya yang sedikit basah akibat hujan tadi, membuatnya kedinginan. Ia merebahkan tubuhnya di sofa. Masa bodoh dengan makanan yang tadi ia bawa ke rumah Joy. Ia meletakannya begitu saja di meja.


Ia mengacak rambutnya, wajahnya terlihat kusut bak pakaian belum disetrika.

"Ganti dulu sana, jangan sampai ketiduran di sini. Nanti siapa yang memindahkanmu ke kamar?"

Jennie melirik sekilas keberadaan Taehyung yang berlaku ke kamarnya. Mungkin, dia juga akan mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur.

Tanpa menyahut omongan Taehyung, Jennie mengikutinya.

Brukk

Jennie mendongakkan kepalanya. Baru saja tubuhnya menubruk punggung Taehyung.

"Jangan berhenti mendadak," tegurnya kemudian berlalu melewati Taehyung begitu saja.

Taehyung membuka mulutnya. Ia bingung, tak biasanya Jennie bersikap dingin seperti itu padanya. Berlalu begitu saja, tanpa perdebatan? Itu hal langka bagi mereka, tapi sekarang? Begitulah keadaannya.

Jennie menutup pintu kamarnya tanpa mengatakan sepatah katapun pada Taehyung yang saat itu melewati kamarnya. Memang benar jika mereka tidur di kamar terpisah. Namun, kamar mereka bersebelahan. Bukan karena masalah apa di rumah tangga mereka, tapi Jennie sendiri yang meminta tidur sendiri dengan alasan belum siap tidur bersama Taehyung.

Taehyung pun memakluminya, lagipula pernikahan mereka bukan didasarkan rasa cinta melainkan karena perjodohan.
Dan pastinya di antara mereka masih ada rasa canggung jika bersama. Apalagi jika tidur bersama satu ranjang.

"Dasar wanita, dikit-dikit marah," cibirnya sembari membuka kenop pintu kamarnya.

Pria Kim itu segera mengganti pakaiannya dengan piyama.  Begitu pula yang Jennie lakukan di kamar sebelah.

Tubuh rampingnya yang kini terbungkus piyama motif kotak-kotak sewarna karamel ia rebahkan. Hari ini terasa melelahkan baginya. Bukan hanya tubuhnya yang penat, namun pikirannya juga  berkecamuk. Entah kenapa hatinya terasa nyeri di saat seperti ini.

Ia memegangi dadanya yang berdenyut tak teratur. Matanya menelisik pantulan dirinya di cermin. Terlihat baik-baik saja, tapi tidak bagi perasaannya.

"Ada apa denganku?" tanyanya sendiri.

Ia melirik ponselnya yang tak ada notifikasi. Ia meremas  ujung piyamanya. Tanpa berpikir panjang, ia segera menghubungi Joy. Dialah yang ia butuhkan sekarang, apalagi seperti saat ini ia perlu menceritakan perasannya. Yah bisa dikatakan Joy itu teman curhat Jennie.

"Ayolah, Joy. Angkat telfonnya," gumamnya. Namun tetap saja tak  ada respon darinya.

Bibirnya ia tekuk ke bawah. Ia bingung harus menceritakan perasaannya kepada siapa lagi. Dan tiba-tiba saja terpintas sebuah nama yang sangat berarti dalam hidupnya. Siapa lagi kalau bukan ibunya sendiri.

[1] He Is Mine Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang