1--A Long Night

8.6K 432 40
                                    

Suara decitan terdengar saat Doy menginjak rem cukup dalam dan langsung menepikan mobil. Ku dengar umpatan segera menyusul dari bibirnya.

"Brengsek! Pake ada tilangan segala."

Aku memandang lurus jalanan yang kini bertebaran polisi bertopi putih dan jaket warna hijau stabilo. Jarak kami belum terlalu dekat, alhasil kami harus putar balik untuk cari aman. Kami tidak bisa mengambil resiko menerabas jalanan kota yang sempit dan rusak ini. Terlebih saat tak ada satupun dari kami punya SIM.

Padahal aku rindu kejar-kejaran dengan polisi sampai akhirnya bisa lolos. Tetapi, yah, terlalu beresiko.

"Kita tunggu aja dulu sampe kelar, sambil ngapain gitu?" Ujar Juan, rekan kami yang kini duduk manis di jok belakang.

"Ke pom deh, gue mau kencing dulu." Kata Doy, memberitahu kami destinasi berikutnya.

Ini bukan kali pertama kami mengalami kejadian serupa. Sudah puluhan kali. Beberapa di antaranya tanpa hambatan, beberapa yang lain harus seperti saat ini; putar balik dan menunggu sampai operasi selesai.

Dua kilometer dari jarak tilangan, kami sampai di pom bensin terdekat. Doy langsung turun menuju toilet, sementara aku dan Juan mencari makanan di minimarket samping pom. Aku menyeduh kopi untuk kami bertiga. Kopi hitam untukku dan Doy, kopi susu untuk Juan.

Juan mengambil beberapa camilan dan roti bungkus. Kami baru makan siang beberapa waktu lalu, namun tidak memungkiri kami butuh persediaan. Mengingat perjalanan masih panjang.

Kami selalu bertiga, setidaknya selama tiga tahun terakhir ini. Kami satu paket yang tidak bisa terpisahkan, sama halnya seperti Ten dan Kun, Winnie dan Leon, yang bekerja di lain divisi.

Misi kami hari ini sangat menguras waktu, perjalanan yang kami tempuh untuk sampai tujuan cukup jauh dan terpelosok, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan secara kasat mata tentunya. Tetapi tidak masalah, sudah biasa.

Setelah merasa cukup menunggu, kami berangkat lagi dan tidak mendapati polisi masih beroperasi. Jam menunjukkan pukul 15.00, malam ini kami harus sampai di lokasi atau perjanjian akan berantakan.

Ponsel dari saku celanaku berbunyi, menunjukkan caller ID yang harus segera diangkat. "Halo, bos?"

"Udah berapa kali aku bilang?"

Aku mendengar omelan dari seberang telepon, "Iya, iya. Jay, ada apa?"

"Kalian di mana? Malam ini harus sampai."

"Iya. Ini lagi diusahain."

"Aku mau ngomong sama Ardoyne." Ucapnya terus terang tanpa memperpanjang masalah sebelumnya.

Aku menyerahkan ponsel dan menyodorkannya pada Doy. Satu tangannya menyetir, satu tangannya yang lain memegang ponsel untuk bicara dengan Jay.

"Ya, bos?"

Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, sesekali aku melihat alis Doy bertautan dan terdengar geraman rendah dari kerongkongannya. Ia lama terdiam, yang artinya sedang mendengarkan Jay, cukup lama sekitar lima menit. Aku penasaran apa yang mereka bicarakan, namun itu bukan kuasaku, jadi ku abaikan saja.

"Oke." Dengan begitu Doy mengakhiri bicaranya dengan Jay, lalu ia mengembalikan ponsel padaku. Ku lihat sambungannya masih ada.

"Jessamine?"

"Ya?"

"Stay sharp." Tutupnya, lalu sambungan terputus. Dia selalu mengatakannya hampir di setiap akhir kalimat dalam pembicaraan kami.

"Gue masih penasaran kapan Bos bakal telfon gue." Keluh Juan dari jok belakang.

Doy berdecak, "Jangan harap, An, lo nggak bisa menyaingi Si Anak Emas." Sindirnya sambil melirikku tajam.

Mad CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang