47--Blockade

469 52 6
                                    

🔞🔞🔞🔞

Geneva

Anjing...

Bangsat...

Goblok...

Kata-kata itu masih belum berhenti kurapal selama beberapa hari ini. Seolah berharap itu adalah doa-doa yang bisa menyelamatkanku.

Selama beberapa hari ini juga aku tidak merasa seperti manusia. Lebih karena aku diperlakukan tidak manusiawi oleh para bajingan ini. Tenggorokanku serak, mataku perih dan tubuhku ambruk karena berteriak, menangis dan berontak dalam waktu bersamaan.

Dari semua hal menyedihkan itu, ada satu hal yang lebih menyedihkan.

Tatapan matanya.

Yang sangat mengintimidasi dan ingin rasanya kucolok sampai mencuat keluar dari tengkorak kepala.

Si bangsat.

Rasanya sama sekali tidak sudi ditatap seperti itu. Tatapannya tajam, fokus dan membuatku ingin mati saja. Sesekali aku membalas tatapannya, namun aku tetap tidak mampu mengartikan apa yang ada dalam pikirannya.

Apa sih yang sedang ia pikirkan? Mengapa membuang-buang waktu hanya untuk berdiri di balik pintu besi selama berjam-jam. Benar-benar sengaja ingin menulikan diri. Apa tidak pengang dengan teriakan dan ocehanku? Aku saja pengang mendengarnya.

Sesekali dia pergi untuk mengambilkanku makanan, yang tentu saja tidak kusentuh dan hanya kubiarkan sampai dia menggantinya dengan yang baru. Aku sedang dalam pemberontakan, aku tidak seharusnya menerima apa yang mereka berikan.

Aku menyadari kalau kami sudah pergi jauh dari tempat terakhir aku bertemu Kak Ardo. Aku tidak tahu di mana kami sekarang. Menilai dari ruangan yang kudiami, sepertinya tidak jauh berbeda seperti yang kami datangi sebelumnya. Masih satu tipe.

Tentu saja karena bangunan ini punya ruangan khusus untuk mengurung orang. Aku sedang dalam posisi Kak Ardo saat itu. Kedua tangan dan kaki dirantai, mulut dibungkam dengan kain, sangat tidak manusiawi.

Satu-satunya hal yang kuketahui adalah secercah cahaya yang masuk melalui ventilasi kecil, memberiku pengetahuan sudah berapa kali aku melihat siang dan malam.

Sudah malam ketiga. Menuju siang keempat.

Malam itu aku tidak banyak berteriak. Tenggorokanku mulai sakit, aku tidak ingin kehilangan suaraku. Karena setelah dipikir-pikir, sepertinya perbuatanku sia-sia dan tidak mengubah apapun.

Dalam diam─masih ditemani dia yang berdiri bersandar pada tembok, mengamati setiap gerak-gerikku─aku memikirkan banyak hal. Sebenarnya aku tidak suka memikirkan hal secara mendalam, karena aku tidak ingin. Tetapi sepertinya saat ini aku dituntut untuk menggunakan otakku lebih keras.

Hal pertama yang melintas di kepalaku, atau sebenarnya bertengger di sana setiap saat adalah tentang Kak Ardo.

Alih-alih merasa sedih karena terpisah dari Kak Ardo, aku justru merasa sangat marah dan tingkat kemarahanku sudah menjadi-jadi sampai aku hanya bisa terdiam menelan semua amarah yang menjalar di seluruh sel tubuhku.

Tidak habis pikir mengapa aku begitu bodoh dan buta akan semuanya. Seharusnya aku tahu sejak awal. Seharusnya aku sadar ada yang tidak beres dengan orang di depanku ini. Seharusnya aku bisa menahan diri untuk tidak terpikat dengannya.

Aku mengerti sekarang, mengapa Kak Ardo selalu memintaku hanya punya teman perempuan, karena ada kemungkinan ini terjadi. Aku bisa saja terjatuh pada laki-laki yang salah dan membahayakan diriku sendiri. Karena aku adalah adik Kak Ardo, adik dari seorang kriminal. Meskipun begitu, bukan berarti aku hanya punya teman perempuan saja, aku juga punya teman laki-laki. Tetapi mereka jelas sangat tidak berbahaya.

Mad CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang