Aku menangis tersedu-sedu. Tidak peduli betapa nyaring suara yang sudah kukerahkan, toh tidak ada orang di tempat itu. Hanya aku dan seorang laki-laki, yang kini sedang bersusah-payah menenangkanku.
"Sst. Jess, udah, jangan nangis. Ada Mas di sini. Nanti pulangnya Mas gendong aja ya."
Aku menangis lagi.
"Nih, dengerin Mas. Kamu kenapa nangis terus? Sakit?" Tanyanya dengan suara yang begitu lembut.
Aku mengangguk di sela-sela tangisanku.
"Karena sakit makanya kamu nangis?"
Aku mengangguk lagi.
"Kalo sakit harusnya diapain?"
Pertanyaanya membuatku berpikir keras. Aku bergeming.
"Kalo sakit, harusnya diobatin biar sembuh. Bukan nangis. Jadi kalo kamu nangis terus, sakitnya nggak akan sembuh." Kemudian aku terdiam, menyeka wajah dengan tanganku yang kotor.
"Sakit, Mas." Ucapku dengan suara parau.
Mas tersenyum, "Iya, Mas tahu. Makanya kamu udah jangan nangis. Ayo pulang, biar sakit kamu diobatin."
Aku hanya memandanginya sambil berusaha menghentikan sesenggukan yang tak kunjung berhenti.
"Udah ya, udah. Tuh, muka kamu jadi cemong begitu, ayo dibersihin juga."
Aku mengulurkan kedua tangan padanya, ia menyambutnya dengan senang hati. Punggung Mas berkeringat dan bau kecut, tapi aku tidak keberatan digendong olehnya. Daripada sakit karena kakiku terpaksa berjalan setelah terjun ke lubang galian.
"Adek Mas kuat, nggak cengeng. Cuma nyungsep ke lobang galian nggak bikin adek jadi jelek kok." Katanya, entah kenapa aku ingin menangis lagi sekaligus tertawa. Kurebahkan kepalaku pada punggungnya yang hangat dan berjalan pulang menuju rumah.
***
Aku terbangun saat hari mulai gelap. Lagi-lagi aku bermimpi tentang hal yang sama. Aku terdiam di atas ranjang. Melihat sekeliling dan menemukan Kun sedang tidur di sofa, sementara Ten memainkan ponselnya.
Pikiranku melayang pada mimpi barusan. Sebelumnya aku juga memimpikan hal yang sama. Seolah mimpiku berlanjut seperti drama dengan banyak episode. Apa mimpi bisa seperti itu?
Siapa Mas itu? Kenapa di dalam mimpi aku masih kecil? Apa Jess yang ia panggil adalah Jess diriku? Di mana tepatnya tempat yang ada di mimpiku itu? Sejauh ingatanku, aku belum pernah mengunjunginya.
Atau aku memang tidak mengingatnya?
Atau itu memang bagian dari ingatanku yang terpotong?
Aku memejamkan mata, mencoba mengingat mimpiku lebih jelas, mencari sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk.
Jantungku tiba-tiba berpacu dengan cepat, napasku mulai tersengal, kepalaku langsung pusing. Aku merasakan sepasang tangan memegangi kedua lenganku.
"Jess? Jess?!" Ten memanggilku dengan suara paniknya.
Aku melihatnya menekan tombol darurat di atas ranjang. Ia kelihatan tak berdaya, tidak tahu harus melakukan apa. Kun menyusul di sampingnya, sama tak berdayanya. Aku memejamkan mata, mencoba mengumpulkan kewarasanku.
Ku dengar pintu terbuka dan langkah kaki beberapa orang masuk ke dalam kamar.
"Jessamine? Jessamine. Tenang ya, tenang. Coba lihat saya." Kupikir aku akan menemukan Valen di depanku, namun rasanya mustahil dia bicara dengan nada yang begitu lembut. Aku membuka mata, melihat seorang dokter sedang tersenyum ke arahku. "Fokus ke saya, ya." Dokter itu mengarahkan wajahku untuk menatapnya. "Tarik napas dalam-dalam, hembuskan." Lanjutnya, aku mulai mengikuti perkataannya. Bertemu mata dengan mata sang dokter yang terlihat meyakinkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mad City
General FictionI survive, nothing else matters. Until I see her. --Ardoyne OC x Ardoyne 🔞 melloizt©2019 melgerit©2023