UNDERAGE PLEASE STEP AWAY
🔞🔞🔞🔞🔞Kupikir bukan aku saja yang bertanya-tanya sejak kapan Jay mulai turun tangan. Mungkin karena kami terlalu sibuk kemudian terlupa bahwa Jay juga punya urusannya sendiri yang tidak bisa diwakilkan oleh kami. Or maybe he isn't the kind boy I used to believe anymore.
Berminggu-minggu berlalu sejak kejadian yang melibatkan banyak orang di Wirajuda. Misi berjalan lagi seperti semula. Aku mulai berkelana lagi Bersama Doy dan Juan untuk mengantarkan barang dan pesanan.
Mengenai 'Later', cukup banyak yang terjadi.
Beberapa hari setelah kejadian penembakan, aku dan Doy akhirnya punya waktu untuk kami habiskan berdua. Saat itu kami akan berangkat ke luar kota sebelum menjalankan misi.
"Mungkin gue tahu apa yang bakal lo omongin." Katanya memulai.
Aku baru saja masuk kamarnya, namun ia sudah bisa membaca apa yang tersirat dari tatapanku. Aku hanya bisa tersenyum datar menanggapinya. Tidak ingin bermaksud terburu-buru, meskipun sebenarnya sangat butuh kejelasan.
Jadi mungkin ini maksud dari 'Cewek tuh butuh kejelasan, nggak bisa digantungin.'
Oke. Aku mengerti sekarang, dalam konteks yang sebenarnya.
"Apa yang bakal kita omongin." Aku mengoreksi sambil mengambil duduk di sebelahnya. Ia meletakkan buku dari pangkuan dan melepaskan kaca mata ke atas nakas.
Aku tidak berani melihat sosoknya lama-lama, hanya bisa meliriknya sekilas. Menjaga diri supaya jantungku berdetak pada ritme yang teratur.
"Doy... ini bagian dari punya hati dengan benar juga?" Tanyaku terus terang.
Aku sadar, aku terdengar sangat kekanak-kanakkan dan tidak pada umurnya. Jangan tanya tentang membunuh lawan dan menembak mereka di kepala, sudah pasti bisa dilewati. Tetapi yang satu ini, mengenai perasaan dan sebangsanya, aku hampir tidak pernah merasakannya dengan sungguh-sungguh.
Doy terkekeh, kemudian meraih kedua tanganku ke dalam genggamannya.
"Lo lucu banget deh."
Aku menautkan alis. "Lucu?"
"Iya. Kayak anak SMA baru pernah pacaran."
"Emang lo tahu anak SMA kalo pacaran gimana?"
Doy memanyunkan bibir. "Kata novel sama sinetron di teve sih kayak gitu."
Aku tersenyum miring, memperhatikan bibirnya yang mengerucut dan merenung. Tidak ada yang tahu seperti apa kehidupan di luar sana. Kami hanya bisa mendengar, melihat dan mempelajarinya dari orang lain. Bukan merasakannya sendiri secara langsung.
Belum sempat kami melanjutkan pembicaraan, ponsel Doy berbunyi. Ia meraihnya dan memberi isyarat bahwa dia perlu mengangkat panggilannya. Aku mengangguk mempersilakan.
Ia keluar dari kamar, berdiri di luar pintu dan mengobrol dengan seseorang di seberang sana, sesekali sambil melirik keberadaanku.
Aku tidak yakin kalau panggilan itu mengenai pekerjaan. Karena pekerjaan kami sudah sangat cukup dijelaskan oleh Yayan.
Hanya satu orang yang terlintas di pikiranku.
Geneva.
Dari cara Doy berbicara, bagaimana ia menjaga suaranya tetap lirih dan berjaga-jaga dariku, sangat kentara kalau itu Neva.
Dan sejauh ini, aku hanya bisa menerka apa yang mungkin sedang mereka bicarakan. Tentang hal yang kusembunyikan dari Jay. Bahkan dari diriku sendiri, karena aku tidak ingin mempercayai apa yang kudengar saat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mad City
General FictionI survive, nothing else matters. Until I see her. --Ardoyne OC x Ardoyne 🔞 melloizt©2019 melgerit©2023