🔞🔞🔞🔞
***MOHON DIBACA SAAT MALAM HARI***
Aku tidak menunggu Doy. Atau awalnya aku berniat demikian sampai aku merasakan hal yang membuatku tidak nyaman. Aku berakhir menunggunya pulang, tidak begitu yakin sudah berapa lama sampai aku ketiduran di sofa.
Suara mobilnya yang tiba di parkiran markas membuatku terbangun seketika. Aku tidak bisa melewatkan suara sedikit saja. Sepanjang hidup yang kuingat, aku selalu waspada, tajam dan siaga. Aku tidak ingin melewatkan hal penting satu pun.
Maka saat Doy melangkah mendekat dan tidak menyalakan lampu untuk menerangi ruang tengah, aku tahu dia sengaja melakukannya. Ia menemukanku di atas sofa, kemudian duduk merapat pada badanku dan menyandarkan kepalanya di dadaku.
Aku menyambutnya dengan senang hati. Menahan kepalanya dengan satu tangan dan mengusap rambutnya dengan satu tangan yang lain, persis seperti menggendong bayi. Kedua tangannya melingkar di pinggangku dan helaan napasnya menembus sampai ke kulitku.
"Everything alright?"
Ia menghela napas lagi, tidak memberiku jawaban selama beberapa detik. Tepat di detik ke empat puluh satu, ia menjawab pertanyaanku dengan... berat hati. "Yeah, of course. Why not?"
"Because we have a bigger problem now."
Aku tidak ingin terdengar panik atau semacamnya, namun aku tidak bisa menahan kekhawatiran yang sejauh ini melandaku. Aku ingin tenang dan tidak begitu memedulikan masalah kami, namun aku tidak bisa menghilangkan tatapan Jay beberapa saat lalu.
Apa yang akan terjadi pada kami selanjutnya?
"About that..." Doy memberi jeda, sekali lagi cukup lama. "Kepikiran nggak untuk meninggalkan ini semua?"
Aku hanya terdiam. Ingin mencerna ucapannya lebih dalam. Menerka-nerka ke mana arah pembicaraan ini.
"Kepikiran buat punya hidup normal kayak orang lain?"
Aku ingin menjawabnya saat itu juga bahwa, ya tentu saja aku pernah dan selalu memikirkannya, namun ada sesuatu yang menahanku.
"Ada apa, Doy?"
Seharusnya aku bisa melontarkan pertanyaan yang lebih spesifik, tetapi aku hanya bisa mengatakan kalimat itu.
Doy memperbaiki posisi duduknya, kini merengkuh belakang kepalaku dan membenamkan wajahnya di ceruk leherku. "Gue mau hidup sama lo. Sama lo aja. Sama Neva juga. Cuma kita bertiga dan nggak ada siapa-siapa lagi. Apa bisa?"
Aku mundur, melepas pelukannya dan memandangi wajahnya dari jarak dekat. Aku melihat ke matanya, mengamati keseriusan yang ia tunjukkan. Dia tidak bercanda.
"Gue... gue nggak tahu Doy. Gue nggak tahu apa itu mungkin."
Aku menundukkan kepala, tiba-tiba merasa dilema. Aku ingin menjalani hidup normal, ingin meninggalkan semua ini. Tapi itu suatu hal yang mustahil. Aku tidak akan pernah bisa keluar dari sini.
Kecuali aku tidak sayang dengan nyawaku lagi.
Doy merengkuh sebelah kepalaku. Mengusapkan ibu jarinya di sepanjang garis rahang. "Bisa, Jess. Nggak ada yang nggak bisa."
Jari telunjuknya mengangkat daguku, menuntunku untuk menatap matanya yang segelap lubang hitam.
"Ikut gue, please?"
Kepalaku terlalu penuh dengan banyak kemungkinan dan ketidakmungkinan saat Doy dengan lembut menempelkan bibirnya di bibirku. Aku memejamkan mata secara otomatis, merasakan bibirnya bergerak di bibirku. Bau alkohol bercampur rokok menguar saat ia membuka kedua bibirnya untuk menciumku lebih dalam. Meski begitu aku tidak bisa memusatkan perhatianku padanya sepenuhnya.
Doy merasakan diriku yang absen dan ia tidak ingin berhenti di sana. Ia membaringkan tubuhku ke atas sofa, menindih badanku dan memerangkapkan dirinya di antara kedua kakiku.
Apa yang akan terjadi pada teman-teman ketika kami pergi? Apa kami benar-benar bisa meloloskan diri dari Wirajuda? Sementara ada Chrysan, Valen, Jay dan tentu saja Prasasti.
Apa kami sepantas itu untuk dicari oleh mereka dan pada akhirnya ditiadakan karena melakukan tindakan penghianatan?
Apa mereka akan repot-repot peduli dengan kami?
Tidak. Tidak ada masa depan indah untuk orang seperti kami.
Kami hanya senjata milik Wirajuda.
Tidak lebih dari itu.
Aku mencari udara saat bibir Doy tidak melepaskan bibirku meski hanya untuk bernapas. Oke, dia berhasil. Aku meninggalkan semua pikiran yang menggangguku dan memfokuskan diri padanya.
Aku tidak memikirkan lagi apa yang akan terjadi pada kami kalau benar kami akan pergi.
Aku tidak ingin memikirkannya.
Aku melepaskan diri sejenak, mendorong Doy beberapa senti ke belakang. Mata kami beradu, menyalurkan segala ketidakpastian yang tidak bisa kami ketahui kebenarannya.
Ia mengecup bibirku sekali lagi sebelum menarik tanganku untuk segera mengikutinya ke dalam kamar. Aku tidak sadar kalau pintu kamarnya telah diperbaiki sampai ia menguncinya rapat-rapat. Baik pintu maupun kedua bibirku, ia menguncinya dengan baik.
Malam itu aku berhenti memikirkan hal lain. Berhenti mengkhawatirkan masa depan. Karena saat ini hanya ada sekarang.
Dan sekarang aku bersama Doy, saling menyatukan tubuh kami menjadi satu kesatuan. Ia adalah sekarangku. Dan kuharap dia bisa menjadi masa depanku. Meski sekali lagi, aku tidak tahu seperti apa masa depan nanti.
Karena tidak ada yang tahu pasti apa yang akan terjadi di masa depan.
Saat itu, aku berdoa kepada Tuhan manapun yang ingin mendengarkan doa dari pendosa sepertiku. Aku tidak ingin kehilangannya. Aku ingin dia selalu ada. Aku ingin kami bisa terus bersama.
Dan pada akhirnya aku tahu apa jawaban yang tepat untuk ajakan Doy.
――to be continued――
***
APA KABAR KALIAN SEMUAAAA?? GIMANA PUASANYA?? 😭Hai. Aku mau minta maaf karena MIA selama satu minggu. I'm pretty sure you don't need excuses from me, but I just want to tell you that... yes, it's been a little difficult to update. But that's alright, I'm trying.
Well, selamat baca. Jangan siang-siang bacanya, biar nggak dosa. Please. Tapi kalo mau berdosa ya nggak apa-apa, silakan ditanggung sendiri HAHAHA 😆😂
-05142019-
melloizt©2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Mad City
General FictionI survive, nothing else matters. Until I see her. --Ardoyne OC x Ardoyne 🔞 melloizt©2019 melgerit©2023