48--Insanity

378 49 10
                                    

**mohon dibaca saat sedang tidak puasa**

🔞🔞🔞🔞

Geneva

Please...

Setelah beberapa jam menghabiskan waktu untuk memandangi langit-langit ruangan dan mengumpulkan kewarasan yang masih tersisa, aku bangun dari tempat tidur. Decit ranjang sempat membuat jantungku berdebar, takut kalau-kalau orang di seberang ruangan─di atas sofa terbangun dan membiusku lagi.

Tetapi ternyata ia masih lanjut terlelap. Tubuhku sedikit sempoyongan saat pertama kalinya menginjakkan kaki di atas lantai yang dingin.

Selama berjam-jam yang kuhabiskan dalam kediaman, aku memahami dan sangat mengerti mengapa aku harus mengumpulkan kewarasanku, tepat seperti apa yang Jay katakan.

Aku tidak biasa memikirkan hal dengan begitu mendalam, karena aku tidak suka berpikir. Aku lebih suka bertindak. Sepertinya itu berubah saat aku mulai curiga dengan kondisi Kak Ardo. Aku banyak berpikir dan mempertimbangkan semua aspek. Kalau dulu aku beranggapan bahwa aksi adalah hal terpenting, ternyata berpikir matang-matang dan menilainya dari segala sudut pandang jauh lebih penting.

Saat terbangun, aku hampir kalap dan panik karena tidak bisa menguasai diri. Tetapi saat melihat Jay tidur di seberang ruangan, ingatanku kembali pada kejadian terakhir kami.

Please...

Suaranya terngiang di dalam kepalaku. Lagi, lagi, lagi, dan lagi.

Berulang-ulang sampai tanpa sadar aku membisikkannya dengan mulutku sendiri.

Kini aku berdiri di depan jendela kaca berukuran besar yang langsung menghadap ke pemandangan kota. Hari baru saja dimulai karena aku menyaksikan matahari merangkak naik dari balik gedung pencakar langit.

Aku mengaitkan kedua tangan, mengelus pergelangan tangan kiriku di balik perban yang sedikit nyeri karena melepas infus dengan paksa. Selain itu aku juga melihat bekas memar di kedua lengan dan kakiku yang memerah akibat dirantai tempo hari.

Aku bertanya-tanya apakah aku akan dirantai lagi nantinya. Mungkin iya. Mungkin tidak.

Lagipula, mengapa mereka masih membiarkanku hidup? Apa gunanya hidup tanpa Kak Ardo?

Please...

Kuhela napas panjang, mencoba meringankan beban yang ada di kepalaku, namun tidak ada bedanya. Masih tetap berat seperti sebelumnya.

"Wah, aku nggak tahu kamu masih punya kewarasan ternyata."

Aku berjengit dan hampir melompat dari posisi di mana aku berdiri saat suaranya mengejutkanku. Aku sampai harus memeluk kedua lenganku sebagai refleks.

Ia menyunggingkan senyum miring saat melihat wajahku yang terkejut. Ia mengayunkan tangannya ke sisi wajahku dan sebagai refleks lagi, ku pejamkan mata dan menyiapkan diri berharap pukulannya di pipiku tidak begitu keras.

Kudengar ia terkekeh, "Tenang, Geneva. I won't hurt you," diikuti dengan belaian lembut dari telapak tangannya yang tertangkap indera perasaku.

Saat kubuka mata dan melihatnya berdiri begitu dekat di depanku, kusingkirkan tangannya dari pipiku dan mendengus lirih. "You won't hurt me? But you did."

Aku melangkah menjauh darinya. "I did. And I do sometimes too, but only when it's necessary."

Aku menatapnya tidak percaya, "Kamu gila."

Jay menghela napas panjang, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, menatap pemandangan yang sebelumnya sedang aku kagumi. "Hm... katakanlah begitu. Tapi seenggaknya aku masih punya kewarasan. Dan aku berharap kamu juga punya."

Mad CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang