33--What Am I Here For

664 127 8
                                    

🔞🔞

Ratusan, ribuan, milyaran kebohongan telah kulakukan.

Aku berbohong dengan kepalaku yang terisi penuh tentangnya. Aku berbohong melalui mata yang hanya melihatnya. Aku berbohong dengan bibir yang menciumnya. Aku berbohong dengan sentuhan di hangat kulitnya. Aku berbohong dengan seluruh napasku.

Karena berbohong begitu mudah, bahkan kepada diriku sendiri.

Sekeras apapun aku mencoba untuk meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja dan optimis bahwa aku bisa terlepas dari jerat keberadaannya yang tidak nyata, aku justru semakin membohongi diri.

Tidak peduli bagaimana teman-teman dan semua orang menjaga perasaanku dengan tidak membicarakan tentangnya dan memanggil namanya, atau memindah kamar juga mengganti mobil, aku tetaplah aku yang tidak ingin melupakannya.

Saat aku mendapat solo, aku akan sengaja datang ke tempat tukang batagor di dekat Paradise City, tempat di mana beberapa kali aku ke sana bersamanya untuk makan jajan. Atau lebih jauh, aku akan berkunjung ke rumahnya, mendapati rumahnya kini kosong dan tidak berpenghuni.

Tentu saja.

Kupikir Ariel ikut bersama mereka berdua, namun ternyata tidak. Ariel melanjutkan kuliah masternya di Perth. Sudah tiga bulan lamanya, begitu menurut tukang kebun yang tidak sengaja kutemui saat sedang menebas rumput liar di dekat garasi.

"Mbak Jess kok malah nggak tahu? Mbak Jess kan yang paling deket sama mereka." Ujarnya penuh tanda tanya. Menakjubkan bagaimana dia bisa mengingat namaku dengan jelas, sementara aku lupa sama sekali. Kami tidak sering bertemu sebelum itu. Mungkin hanya sekali atau dua kali saja.

Tidak ingin menyinggung, aku tidak mencari tahu siapa namanya. "Eh, iya, Pak. Mungkin belum ngasih tahu kali, kan sama-sama sibuk. Ya udah kalo gitu, Pak. Saya pamit dulu."

Kemudian aku pergi.

Mencukupkan diri dengan kenangan yang ingin kusinggung ke permukaan.

Tawanya,

Senyumnya,

Suaranya,

Candanya,

Seringaiannya,

Kesinisannya,

Ejekannya,

Bau khas tubuhnya,

Sentuhannya,

Kehangatannya,

Pelukannya,

Ciumannya,

Kehadirannya.

Aku berakhir memeluk lututku sendiri, meringkuk di atas ranjang di kamarnya di lantai dua. Mencari eksistensi yang mungkin bisa kutemukan di sana. Tapi semuanya telah hilang, waktu membuatnya pudar.

Bau segarnya telah digantikan bau apek yang berasal dari kasur. Baju-baju yang ia tinggalkan kini dipenuhi debu. Seprai, sarung bantal dan selimut berwarna putih kesukaannya, sudah mulai menguning, menandakan kepergiannya tidak hanya sebentar.

Air mata mulai mengalir, mengemis sekali lagi kepada bayangannya, untuk tidak meninggalkanku sendiri. Untuk tidak pergi kemana-mana. Untuk tetap tinggal. Tetapi bayangan tidak bisa bicara dan aku memahaminya.

Kalau wujudnya ada di sini pun aku ragu dia akan bertahan. Dia sudah sesiap itu untuk pergi, bukan?

Kuraih kotak berwarna hitam di atas nakas, mengambil isinya dan mengapitnya di antara kedua bibirku. Kemudian menyalakan api untuk membuat eksistensinya kembali muncul. Favoritnya, Black Menthol.

Mad CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang