🔞🔞
Kami baru sampai lagi di Jakarta dua hari setelah menyelesaikan urusan di Bali. Sejak kejadian terakhir, aku dan Doy mendadak saling diam. Juan seperti sudah terbiasa dengan mood swing yang kami berdua miliki. Sebelum ada 'kami', aku dan Doy juga sering melakukannya saat sedang berselisih pendapat.
Mungkin itu hal yang wajar karena kami sudah terlalu lama bersama.
Menjelang tengah malam di hari yang sama, Yayan datang ke markas. Kukira ia datang bersama Jay namun ternyata ia datang seorang diri. Ia berdiri tegak di ambang tangga, menungguku menyadari keberadaannya.
"Pak Yayan?" Seruku, menyampirkan handuk ke bahu setelah selesai mandi.
Ia sedikit berdeham, "Mbak Jess. Saya diminta Den Jay buat jemput dan anter Mbak Jess ke Marleen."
Aku menaikkan alis. Udah pulang dari Hongkong, tah?
"Oh, oke Pak. Saya ganti baju dulu, ya."
Yayan mengangguk, "Iya Mbak, saya tunggu di bawah ya." Kemudian ia menghilang ke lantai bawah.
Aku masuk ke dalam kamar untuk berdandan dan memakai baju santai. Beberapa menit kemudian aku menghampiri Yayan, lalu pergi menuju Marleen. Aku menyadari kalau yang lain sepertinya juga sedang di Marleen, mengingat kamar mereka kosong dan markas cukup sepi.
Suasana riuh menyambut kedatanganku. Sekarang Sabtu malam, pantas saja ramai pengunjung. Aku melewati beberapa anak muda yang kupikir masih terlalu dini untuk masuk ke tempat seperti ini. Tapi mungkin mereka memang sudah masuk umur legal untuk datang ke kelab malam.
Biarlah. Tanggung jawab mereka masing-masing.
Jay sedang memegang segelas wine dan memutar ujung gelasnya, kebiasaan yang selalu ia lakukan setiap kali sedang menunggu sesuatu. Aku menaiki tangga ke lantai dua dan duduk di hadapannya.
"You're here." Katanya begitu aku sampai.
Aku tidak menanggapi dan langsung bicara ke inti. "Ada apa?"
Jay memanyunkan bibir, menimbang-nimbang sesuatu untuk diucapkan. "Nggak apa-apa. Biar ada yang nemenin."
Aku mendengus, "Kamu bisa pake cewek di sini, Jay. Ngapain minta aku dateng segala." Ujarku sambil lalu. Sesuatu tertangkap mataku, raut wajahnya yang kelihatan bahagia sembari memandangi para pengunjung di bawah sana. "Atau memang ada sesuatu?"
"Nggak ada. Cuma mau kamu di sini aja. Salah?"
Aku menggigit bibir. "Nggak. Aneh aja kalo nggak ngomongin misi."
Jay menatapku di mata. "It's a nice night, Jess. Enjoy it first."
"Yeah."
Aku menuang setengah gelas vodka, tidak memedulikan tatapan Jay yang mengawasiku dengan saksama. Aku selalu suka vodka murni. Berbeda dengan Doy yang selalu minum mixed vodka.
Ah. Meskipun raga kami tidak bersama, aku masih bisa memikirkan Doy. Sebesar itu pengaruhnya di hidupku saat ini. Rasanya aku akan mengingatnya dengan mudah. Karena mungkin pada dasarnya dia telah tinggal di kepalaku dalam waktu yang cukup lama.
"Kalo kamu nggak mau, bilang aja. Nanti aku yang bilang ke Valen. Kamu nggak harus nurutin dia." Tiba-tiba Jay berucap tanpa ada peringatan. Pikiranku langsung tahu apa yang sedang ia bicarakan.
Dia tahu kalau aku mengikuti perintah Valen dan menyembunyikannya. Bukannya marah, Jay justru mengatakannya dengan lembut. Aku bergeming. Tidak tahu harus merespon bagaimana tepatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mad City
General FictionI survive, nothing else matters. Until I see her. --Ardoyne OC x Ardoyne 🔞 melloizt©2019 melgerit©2023